Beliau bernama Zaid bin Haritsah –semoga Allah meridloinya-, dan sebelum Nabi saw diangkat menjadi Rasul bernama Zaid bin Muhammad.
Ibunya Su’di binti Tsa’labah pernah membawanya berziarah kerumah salah seorang keluarganya di bani Ma’an, saat itu beliau berumur 8 tahun, saat dia tinggal ditengah kaumnya secara tiba-tiba penduduk Ma’an diserang oleh sekelompok orang yang memusuhi mereka, hingga akhirnya mereka kalah dan menjadi tawanan termasuk Zaid, lalu ibunya kembali ke rumahnya (suaminya) sendirian dan tidak pernah mendengar kembali berita tentang Zaid hingga terus mencarinya karena rindu atasnya, membawa tongkat diatas pundaknya, berjalan mengitari perumahan menyusuri padang pasir, Beliau bernama Zaid bin Haritsah –semoga Allah meridloinya-, dan sebelum Nabi saw diangkat menjadi Rasul bernama Zaid bin Muhammad.
Ibunya Su’di binti Tsa’labah pernah membawanya berziarah kerumah salah seorang keluarganya di bani Ma’an, saat itu beliau berumur 8 tahun, saat dia tinggal ditengah kaumnya secara tiba-tiba penduduk Ma’an diserang oleh sekelompok orang yang memusuhi mereka, hingga akhirnya mereka kalah dan menjadi tawanan termasuk Zaid, lalu ibunya kembali ke rumahnya (suaminya) sendirian dan tidak pernah mendengar kembali berita tentang Zaid hingga terus mencarinya karena rindu atasnya, membawa tongkat diatas pundaknya, berjalan mengitari perumahan menyusuri padang pasir, bertanya ke setiap kabilah dan kafilah yang lewat tentang anaknya dan buah hatinya, dan pada saat musim haji dan perdagangan tiba, orang-orang dari kabilah Haritsah pergi kesana dan bertemu dengan Zaid di Mekkah, dan mereka menceritakan keadaan kedua orang tuanya dan Zaid menceritakan kejadian yang sebenarnya; bagaimana Banu Al-Qayn menyerang kabilah ibunya dan mereka menahannya, kemudian dijual di pasar Ukaz kepada seseorang dari Quraisy yang bernama Hakim bin Huzam bin Khuwailid, kemudian dihadiahkan kepada bibinya Khadijah binti Khuwailid dan diserahkan kembali ke suaminya Muhammad bin Abdullah, maka beliaupun menciumnya dan memeluknya. Kemudian berkata kepada para hujjaj dari kaumnya : berikanlah kabar ini kepada bapak dan ibu saya bahwa saya berada dalam asuhan orang tua yang paling mulia.
Setelah rombongan kembali dari Mekkah mereka menceritakan perihal Zaid kepada orang tuanya, namun Haritsah sama sekali tidak mengetahui tempat tinggal anaknya sampai dia dan saudaranya memutuskan untuk pergi ke Mekkah dan bertanya tentang Muhammad bin Abdullah, dikatakan kepadanya : bahwa dia (Muhammad) berada di Ka’bah, -saat itu nabi belum diangkat menjadi Rasul- maka keduanya masuk ke rumah tersebut dan berkata : Wahai putra Abdul Mutthalib, wahai putra dari kaum yang mulia, kalian adalah penduduk yang menjaga rumah Allah dan tetangga darinya, pembebas orang yang kesusahan, pemberi makan orang yang ditawan, kami datang untuk mencari anak kami, maka kabulkanlah permohonan kami, dan berikanlah kebaikan dalam menebusnya, maka nabipun memberikan pilihan kepada Zaid, maka Nabi berkata kepada keduanya : “Panggilah Zaid, berikan kebebasan kepadanya untuk memilih, jika dia memilih kalian maka dia milikmu tanpa ada tebusan, namun jika dia memilih saya maka demi Allah tidaklah saya orang yang memilih kepada saya mengiginkan tebusan”.
Maka Haritsah bergembira atas perkataan Nabi, kemudian dia berkata kepadanya : sudikah engkau memberitahukan asal-usul kami, memberi bekal kepada kami dan memberikan kebaikan kepada kami. Setelah Zaid tiba, nabi bertanya kepadanya : tahukah engkau siapa mereka ? Zaid berkata : ya, dialah Bapakku, dan yang satu lagi Pamanku, kemudian Rasul berkata kepada Zaid : adapun Saya, Engkau telah mengetahui dan melihat, sebagai teman bagimu, apakah engkau memilih saya atau mereka ? Zaid berkata : saya bukanlah orang yang engkau paksa untuk memilih, engkau dihadapan saya memiliki kedudukan sebagai Bapak dan Paman. Saat itu pula Bapaknya dan Pamannya kaget dan tercengang lalu berkata : celaka engkau wahai Zaid, apakah engkau lebih memilih menjadi budak daripada merdeka di tengah orang tuamu dan pamanmu serta keluargamu. Zaid berkata : benar, saya telah mengetahui perihal orang ini yang saya tidak memilih seorangpun selainnya”.
Setelah Rasulullah saw melihat kejadian tersebut beliau sangat bergembira hingga air matanya menetes lalu menarik Zaid dan kaluar dari batu Ka’bah mengelilngi orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul, lalu berseru : “Saksikanlah mulai saat ini Zaid adalah anakku, dia berhak menjadi ahli waris dariku dan aku berhak menjadi ahli waris darinya”. (Ibnu Hajar). Setelah Bapak dan Pamannya melihat kejadian tersebut keduanya pasrah. Dan semenjak itu pula Zaid di Mekkah tidak dipanggil oleh seseorang kecuali dengan menyebut Zaid bin Muhammad, kemudian setelah Nabi diangkat menjadi Rasul, Zaid ikut masuk Islam dan menjadi orang kedua yang pertama masuk Islam, sedangkan Rasulullah saw sangat mencintai dan menyayangi beliau.
Setelah Rasulullah saw mengizinkan para sahabatnya berhijrah ke Madinah Zaid ikut serta berhijrah, dan Rasulullah saw mempersaudarkannya dengan Asid bin Khadir, dan pada saat itu Zaid masih dipanggil dengan Zaid bin Muhammad hingga turun firman Allah SWT : “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”. (Al-Ahzab:5), maka saat itu pula Zaib dipanggil nama dengan Zaid bin Haritsah, dan Rasulullah saw menikahkannya dengan tuannya Ummu Aiman dan melahirkan anak yang bernama Usamah bin Zaid, kemudian menikahkannya kembali dengan putri pamannya Zainab binti jahsy, namun kehidupan berlangsung tidak harmonis sehingga Zaid pergi menghadap Rasulullah saw mengadukan hal tersebut, maka Rasulullah saw memerintahkannya untuk menahannya dan bersabar atasnya, namun Allah SWT memeirntahkan kepada Rasul-Nya untuk menceraikan Zainab dari Zaid kemudian beliau menikahi mantan istri dari Zaid, yang demikian untuk menghilangkan persepsi kebiasaan mengadopsi anak yang telah menjadi adat dikalangan jahiliyah, bahwa pada waktu itu anak angkat diperlakukan seperti anak sendiri, Allah berfirman : “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang telah allah menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedamg Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawani) istri-istri anak-anak angkat mereka, jika anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Al-Ahzab:37)
Dan cukuplah bagi Zaid mendapatkan kebanggaan namanya dicantumkan dalam Al-Qur’an Al-Karim, dan kemudian Rasulullah saw menikahkan beliau dengan Ummi Kultsum binti Uqbah.
Zaid merupakan seorang panglima perang yang gagah berani, dan terbaik dalam membidik panah, ikut dalam perang Badr, dan menjadi perisai terhadap tubuh Nabi saat perang Uhud, ikut dalam perang Khandak, perjanjian Hudaibiyah, penaklukan Khaibar, dan perang Hunain, dan Rasulullah saw menjadikan sebagai panglima dalam 7 kali perang gerilya : Al-jumu’, Al-thorf, al-‘aish, hismi dan lain-lainnya, Aisyah pernah berkata tentangnya : “Rasulullah saw tidak pernah sama sekali mengutus bala tentara kecuali mengangkat Zaid sebagai panglimanya”.
Saat tentara Romawi mengubah perbatasan negara Islam dan menjadikan Syam sebagai pusat pemerintahan mereka; Rasulullah saw mengirim pasukan ke daerah Balqo di bagian negara Syam, dan memberikan wejangan dan pesan kepada para prajuritnya setelah menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin pasukan, beliau bersabda : “jika Zaid terluka (syahid) maka penggantinya adalah Ja’far bin Abu Tholib, dan jika Ja’far terluka maka penggantinya adalah Abdullah bin Rowahah”. (Ibnu Ishaq).
Setelah pasukan muslim berjalan dan saat tiba disamping kota yang bernama mu’tah, pasukan muslim bertemu dengan pasukan Romawi yang jumlahnya melebihi 200 ribu tentara, hingga terjadilah peperangan yang sengit, dan Zaid dengan gagah maju ke tengah pasukan musuh tidak mengindahkan jumlah dan perlengkapan mereka, dengan mengayunkan pedangnya ke kiri dan ke kanan sambil membawa bendera di tangan yang lainnya, dan ketika pasukan musuh melihat keberanian beliau mereka menikamnya dari belakang hingga akhirnya beliau menemui syahidnya sambil memegang bendera tersebut, dan Rasulullah saw pun berdo’a untuknya : “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian, sungguh (Zaid) telah menemui cita-citanya untuk masuk surga”. (Ibnu Sa’ad). (Ibnu Sa’ad).
Selengkapnya...
Al Furqan
Minggu, 04 September 2011
Zaid bin Haritsah; Sosok Kesayangan Nabi saw, Gagah Berani, Perisai Nabi saw dan Panglima 7 Perang Gerilya
Senin, 11 Juli 2011
Kisah Laparnya Abu Hurairah Ra
Kisah Laparnya Abu Hurairah ra.
Sumber : http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=2&id=8027
Abu Hurairah menceritakan pengalamannya: “Aku pernah mengalami lapar
yang hanya Allah sajalah yang mengetahui keparahannya, sehingga demi
Allah yang tiada Tuhan, selain Dia, aku pernah pingsan di antara
mimbar dan rumah Rasulullah SAW.”
Abu Hurairah melanjutkan: “Selanjutnya, datanglah seorang shahabat
mendekatiku. Dia mengira bahwa diriku kerasukan Jin.”
“Pada suatu malam aku shalat bermakmum kepada Rasulullah SAW sedang
aku dalam keadaan sangat lapar.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
rasa lapar yang dialaminya sampai kepada tahap yang membuatnya tidak
lagi mengetahui apa yang dibaca oleh Rasulullah SAW dalam shalatnya
bersama mereka.
“Setelah beliau selesai dari shalatnya, aku keluar untuk menghadang
orang-orang dengan harapan semoga ada diantara mereka yang mau
membawaku ke rumahnya, lalu memberiku makan.”
Akan tetapi, apakah dia menghadang orang lain untuk mengatakan
kepadanya: “Berilah aku makan!” Atau apakah dia mengatakan:
“Kenyangkanlah diriku dan berilah aku minum?” Tidak, bahkan dia
menghalangi orang lain, lalu menanyakan kepada mereka makna sebagian
dari ayat-ayat Al-Qur’an barangkali saja mereka memahami maksudnya,
lalu mau mengajaknya makan. Ia pun menghadang Abu Bakar, tetapi
ternyata Abu Bakar tidak memahami maksud yang sebenarnya. Bahkan ia
menjawab pertanyaanya, lalu pergi; demikkian pula `Umar ra.
Abu Hurairah melanjutkan: “Selanjutnya, Rasul SAW keluar dan aku
menghadangnya. Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman
kekuasaan-Nya, sesungguhnya beliaulah yang mulai menyapaku sebelum aku
memulainya. Beliau tersenyum, lalu bersabda; `Kemarilah bersamaku!’”
Rasulullah SAW memahami bahwa sesungguhnya Abu Hurairah tidak membawa
pertanyaan, melainkan membawa rasa lapar dan haus.
Abu Hurairah melanjutkan; “Beliau lalu memasukkanku kedalam rumahnya
dan tiada yang terdapat di dalam rumahnya, kecuali hanya sepotong roti
tanpa ada sebutir kurma pun dan juga tanpa ada anggur kering sedikit
pun. Tiada suatu makanan yang lain pun di dalam rumahnya, kecuali
hanya semangkok loban (yoghurt). Ketika aku melihat loban, aku berkata
kepada diriku sendiri; `Beliau pasti akan memberiku minum sekarang dan
dengan izin Allah rasa laparku nanti akan hilang.’ Rasulullah SAW
memanggil; “Hai Abu Hurairah!’ Aku menjawab; `Labbaika wasa’daika, ya
Rasulullah.’ Rasulullah SAW bersabda; “Temuilah orang-orang fakir
miskin ahli suffah yang ada di emper masjid itu dan undanglah mereka
semua.’”
“Aku berkata kepada diriku sendiri; `Hanya Allah yang dimintai
pertolongan. Aku lebih utama untuk mendapatkan loban ini, karena
apabila ahli shuffah yang jumlahnya kurang lebih antara tujuh puluh
sampai delapan puluh orang itu datang semuanya, tentulah mereka tidak
akan menyisakan loban barang setetes pun, lalu apakah yang tersisa
untukku?Akan tetapi, perintah Rasulullah SAW tetap harus aku laksanakan.’”
Abu Hurairah pergi menemui ahli Shuffah dan mengundang mereka, lalu
mereka datang dengan bergegas-gegas hingga senmuanya masuk menemui
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pun memberi mereka minum dari loban
itu, hingga mereka minum dan kenyang semuanya, sedang Abu Hurairah
hanya dapat memperhatikan adegan itu dengan rasa penuh kekesalan.
Setelah selesai, mereka keluar dan Rasululah SAW bersabda; “Hai Abu
Hurairah!” Aku menjawab; “Labbaika wa sa’daika, ya Rasulullah.” Rasul
bersabda; “Ambillah wadah itu dan minumlah!” Aku pun minum, demi Allah
hingga kenyang. Rasul SAW bersabda; “Minum lagi!” Aku menjawab; “Wahai
Rasulullah SAW., demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan benar sebagai
seorang nabi, aku tidak menemukan tempat lagi untuknya (sudah
kenyang).” Selanjutnya, Rasul SAW mengambil sisanya yang masih ada
dalam wadah itu, kemudian membaca bismillah dan meminumnya. (HR.
Bukhari, Ahmad, dan Thabrani)
Sesungguhnya Nabi SAW mengalami kelelahan dan kelaparan, tetapi
imbalan pahala yang diharapkannya bukanlah di dunia ini karena dunia
adalah kehidupan yang fana bagaikan bayangan pohon. Bahkan karunia dan
kepuasan yang akan diperolehnya adalah kelak di akhirat sebagaimana
yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu
(hati) kamu menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuha (93): 5)
Selengkapnya...
Kenapa Nabi Sering Berlindung dari Hutang
Dalam sebuah do’a yang dibaca di akhir shalat (sebelum salam), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan dari dua hal ini yaitu berbuat dosa dan banyak utang.
Bukhari membawakan hadits ini pada pembahasan adzan, sedangkan Muslim membawakan hadits ini pada pembahasan masjid dan tempat shalat.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN FITNATIL MASIHID DAJJAL, WA A’UDZU BIKA MIN FITNATIL MAHYA WAL MAMAAT, ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGROM [Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari adzab kubur, aku berlindung kepada-Mu dari bahaya dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan hidup dan mati. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari berbuat dosa dan banyak utang].”
Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak utang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.
Itulah yang diajarkan oleh suri tauladan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa meminta perlindungan dari kedua hal ini dengan tujuan agar tidak merugi di dunia dan akhirat.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan banyak utang. Kami juga berlindung kepada-Mu dari kerugian di dunia dan akhirat. AMIN …
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Faedah Ilmu: 9 Dzulqo’dah 1429, di Panggang-Gunung Kidul.
Selengkapnya...
Futuh Makkah, Kemenangan Besar di Bulan Ramadhan
Oleh Hanin Mazaya pada Ahad 28 September 2008, 02:11 PM
Saat itu tanggal sepuluh bulan Ramadhan. Rasulullah SAW sedang berpuasa, begitu juga kaum Muslimin. Sebuah peristiwa besar dan menentukan dalam sejarah Islam akan segera terjadi. Rasulullah SAW bersama sekitar sepuluh ribu personil pasukan kaum Muslimin membelah gurun sahara menuju Mekkah.
Mereka akan memberi ‘pelajaran’ kepada kaum musyrikin Mekkah yang telah menginjak-nginjak perjanjian Hudaibiyyah, menyerang serta membunuh orang-orang yang sedang ruku dan sujud. Rasulullah SAW telah menunjuk Abu Rahm Al Ghifari sebagai amir sementara di Madinah. Seluruh kaum Muhajirin dan Anshar turut serta bersama Rasulullah, begitu juga dari Bani Sulaim dan Bani Muzainah, kabilah-kabilah yang telah masuk Islam dan harus dilindungi.
Ketika tiba di Al-Kudaid, tempat antara Usfan dengan Amaj, Beliau SAW membatalkan puasanya dan terus berjalan hingga berhenti di Marru Adz-Dzahran. Sementara itu orang-orang Quraisy tidak mendengar informasi seputar beliau dan apa yang akan beliau lakukan dan tidak menyadari musibah besar yang ditakdirkan akan menimpa mereka. Di daerah tersebut pasukan kaum Muslimin yang dalam kondisi puncak berhenti, memancangkan kemah-kemah, menyalakan api obor di pusat perkemahan sehingga membuat terang benderang lembah pasir yang membentang luas tersebut. Peperangan hebat akan melanda kota Mekkah dan bila hal itu benar-benar terjadi, pasti akan menghancurkan kaum musyrikin yang selama ini selalu memusuhi kaum Muslimin.
Musyrikin Mekkah Mengkhianati Perjanjian Hudaibiyyah
Gambar : Artefak perjanjian Hudaibiyyah
Pasca berlakunya Perjanjian Hudaibiyyah kaum Muslimin sibuk menyebarluaskan ajaran Islam kepada setiap orang yang masih mau berfikir. Meski pun perjanjian tersebut mengandung hal-hal yang menguntungkan dan hal-hal yang merugikan, kaum Muslimin tetap menepatinya.
Berbeda dengan musyrikin Quraisy yang congkak dan keras kepala sehingga berani mengkhianati Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam butir perjanjian tersebut telah disetujui adanya gencetan senjata selama sepuluh tahun. Selama masa itu, kedua belah pihak tidak akan saling menyerang dan semua orang akan terjamin keamanannya. Apabila ada orang dari pihak Quraisy menyeberang ke pihak Muhammad tanpa seizin walinya, ia harus dikembalikan kepada Quraisy. Sebaliknya, bila ada pengikut Muhammad yang menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Muhammad.
Beberapa waktu setelah diberlakukannya perjanjian tersebut, kabilah Banu Khuza’ah menyatakan bersekutu dengan kaum Muslimin, sedangkan kabilah Bani Bakr menyatakan diri bersekutu dengan kaum musyrikin Quraisy. Pengkhianatan Perjanjian Hudaibiyyah diawali oleh musyrikin Quraisy yang bersekutu dengan Bani Bakr untuk kemudian menyerang orang-orang Bani Khuza’ah yang berada dalam perlindungan kaum Muslimin. Dalam penyerangan tersebut beberapa orang dari Bani Khuza’ah tewas. Karena tidak siap berperang, orang-orang Bani Khuza’ah mencari perlindungan di daerah haram (daerah di Mekkah yang di dalamnya tidak diperbolehkan adanya tindakan kekerasan). Akan tetapi mereka terus dikejar dan dibunuh oleh orang-orang Bani Bakr yang menerima bantuan materil dan moril dari orang-orang Quraisy.
Pada saat orang-orang Bani Bakr sadar telah melakukan tindakan kekerasan di dalam daerah haram, beberapa orang diantaranya bertanya kepada pemimpinnya, Naufal bin Mu’awiyah : “Kita telah memasuki daerah haram, bagaimanakah tuhan-tuhan anda?” Naufal tanpa ragu-ragu menjawab : “Hai orang-orang Bani Bakr, hari ini tidak ada tuhan…lampiaskan pembalasan kalian…!”
Orang-orang Bani Khuza’ah ketakutan mendengar musuh telah menghalalkan tindak kekerasan di dalam daerah haram. Mereka segera mengirimkan ‘Amr bin Salim sebagai utusan menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan peristiwa yang sedang dihadapi kaumnya. Setibanya di Madinah ia langsung menghampiri Nabi SAW yang saat itu sedang duduk di dalam masjid di hadapan kaum Muslimin. “Amr bin Salim menyampaikan keluh kesahnya kepada Nabi SAW atas tindakan orang-orang Bani Bakr yang telah menginjak-injak perjanjian, menyerang serta membunuh orang-orang yang sedang ruku dan sujud. Selain itu ia juga menyampaikan aspirasi kaumnya, Bani Khuza’ah agar Rasulullah SAW bersedia membantu mereka sebagai sekutu yang sedang menghadapi pengejaran musuh.
Menanggapi keluhan dan aspirasi Bani Khuza’ah, Rasulullah SAW berkata : “Hai Amir bin Salim, kalian akan tertolong.”
Beberapa waktu kemudian, orang-orang Quraisy merasa telah berbuat kekeliruan. Berangkatlah Abu Sufyan ke Madinah untuk berusaha memperbaiki keadaan yang telah dirusak oleh kaumnya dengan kembali kepada perjanjian yang telah diperkosa kehormatannya.
Setibanya di Madinah ia langsung ke rumah anak perempuannya, Ummu Habibah, yang merupakan isteri Nabi SAW. Tetapi ketika ia hendak duduk di atas sehelai tikar, tikar itu dilipat oleh Ummu Habibah. Mendapat perlakuan seperti itu Abu Sufyan berkata : “Hai Habibah, aku tidak tahu, apakah engkau lebih menyukai aku daripada tikar itu ataukah lebih menyukai tikar itu daripada diriku?!”
Ummu Habibah menjawab : “Tikar ini adalah tikar Rasulullah, sedangkan ayah seorang musyrik dan najis!” Abu Sufyan kesal dan jengkel mendapat perlakuan seperti itu dari anaknya sendiri dan berkata : “Sepeninggalku engkau akan ditimpa musibah!” Kemudian ia keluar hendak menemui Rasulullah SAW di tempat lain. Ia mengajak Beliau SAW bercakap-cakap, tetapi Beliau tidak mau menjawab sama sekali.
Abu Sufyan kemudian meminta bantuan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan lalu kepada Umar Ibnul Khattab agar membicarakan masalah yang diabaikan saja oleh Rasulullah SAW. Kedua sahabat dekat Rasulullah SAW juga tidak merespon keinginan Abu Sufyan, bahkan Umar Ibnul Khattab mengatakan : “Demi Allah, sekiranya aku tahu engkau berbuat kesalahan walaupun sebutir pasir, tentu engkau kuperangi!”
Akhirnya Abu Sufyan menemui Ali bin Abi Thalib, yang kemudian memberikan solusi: “Demi Allah, hai Abu Sufyan, Rasulullah SAW telah menghendaki sesuatu dan kami tidak dapat mempersoalkan hal itu dengan beliau…” Ali bin Abu Thalib kemudian menyarankan supaya Abu Sufyan lebih baik pulang saja ke Mekkah, dan akhirnya Abu Sufyan langsung pulang ke Mekkah dan memberitahu kaumnya mengenai jalan buntu yang dialaminya selama berada di Madinah.
Sementara itu di Madinah Rasulullah SAW memberitahu kaum Muslimin agar bersiap-siap, dan kepada mereka pun telah diberitahu bahwa Beliau hendak berangkat ke Mekkah. Mereka dipesankan supaya bersungguh-sungguh dan cermat dalam melakukan persiapan. Beliau berdoa:
“Ya Allah, kumpulkanlah mata-mata Quraisy, jangan sampai mendengar berita tentang keadaan kami agar kami dapat menyerang mereka di negeri mereka sendiri secara tiba-tiba.”
Kaum Muslimin menyambut hangat perintah Nabi SAW. Mereka mulai mengerahkan kekuatan untuk menghadapi peperangan mendatang. Mereka sadar, tidak lama lagi akan tiba saat yang menentukan dalam perjuangan melawan kaum musyrikin Mekkah.
Pelajaran Berharga Kasus Hathib bin Abi Balta’ah
Di saat seluruh kaum Muslimin sedang mempersiapkan diri untuk menyerang dengan tiba-tiba Mekkah, terjadilah sebuah peristiwa yang sarat dengan hikmah dan pelajaran. Salah seorang dari kaum Muslimin angkatan pertama, veteran Perang Badar, Hatihib bin Abi Balta’ah diketahui mengirim sepucuk surat kepada kaum musyrikin Quraisy yang membocorkan rencana keadatangan Rasulullah SAW ke Mekkah dengan membawa pasukan.
Ali bin Abi Thalib menceritakan pengalamannya mengenai peristiwa itu sebagai berikut :
“Rasulullah SAW memerintahkan kami bertiga, yaitu aku, Zubair, dan Al Miqdad : “Berangkatlah kalian ke sebuah raudhah (padang rumput) bernama Khakh. Di sana ada seorang perempuan sedang dalam perjalanan ke Mekkah membawa surat. Ambillah surat itu dari tangannya!” Kami berangkay dengan kuda dan setibanya di tempat itu kami jumpai perempuan yang dimaksud oleh Nabi SAW. Kami minta kepadanya supaya mau mengeluarkan surat yang disembunyikan. Ia menyahut bahwa ia tidak membawa surat. Akhirnya kami tekan: “Keluarkan surat itu, kalau tidak engkau akan kami telanjangi!” Ia terpaksa mengeluarkan surat itu yang dibawanya dari dalam kantong dan menyerahkannya kepada kami. Kami kemudian segera pulang menghadap Rasulullah SAW…
“Ketika dibuka teryata terdapat tulisan : Dari Hathib bin Abi Balta’ah kepada kaum musyrikin di Mekkah memberitahu mereka tentang beberapa rencana yang hendak dilakukan oleh Rasulullah SAW. Hathib kemudian dipanggil dan ditanya oleh Rasulullah: “Hai Hathib, apa maksud suratmu ini?” Ia menjawab: “ Ya Rasulullah, jangan buru-buru menghukum diriku. Aku mempunyai hubungan erat sekali dengan orang-orang Quraisy. Dahulu aku pernah menjadi sekutu mereka sekalipun bukan aku yang menjadi tulang punggungnya. Di antara orang-orang Muhajirin yang bersama anda banyak yang mempunyai sanak famili di Mekkah yang menjaga keluarga dan harta benda yang mereka tinggalkan. Sekalipun orang-orang Quraisy itu tidak mempunyai hubungan silsilah denganku, namun aku menginginkan supaya ada beberapa diantara mereka yang mau menjaga kaum kerabatku. Aku berbuat demikian itu samasekali bukan karena aku telah murtad dan bukan pula karena aku ingin menjadi kafir setelah aku memeluk Islam…”
Rasulullah SAW kemudian berkata kepada para sahabatnya:
“Orang ini telah mengatakan yang sesungguhnya kepada kalian!” Umar Ibnul Khattab menyahut : “Ya Rasulullah, biarlah kupenggal saja leher orang munafik itu!” Rasulullah cepat menjawab : “Dia turut serta dalam perang Badr! Apakah engkau tahu, kalau-kalau Allah SWT meninggikan martabat orang yang turut serta dalam perang Badr, lalu Allah bertitah: Berbuatlah sekehendak kalian, kalian Kuampuni…!”
Sehubungan dengan kasus ini Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia yang kalian berikan (keterangan-keterangan mengenai Muhammad) berdasarkan perasaan kasih sayang. Sesungguhnya mereka itu mengingkari kebenaran yang datang kepapda kalian, dan mereka telah mengusir Rasul serta mengusir kalian kerena kalian beriman kepada Allah, Tuhan kalian. Jika kalian benar-benar hendak keluar untuk berjuang di jalan-Ku dan ingin memperoleh keridlaan-Ku (janganlah kalian berbuat sedemikian itu). (Janganlah) kalian memberitahukan secara rahasia (keterangan-keterangan tentang Muhammad) kepada mereka karena kasih sayang. Aku Maha Mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan (secara terang-terangan). Dan barangsiapa diantara kalian melakukannya, maka sesungguhnya ia telah sesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Mumtahanah : 1-4)
Jelas, dalam kasus ini Hathib bin Abi Balta’ah telah melakukan kesalahan fatal, membocorkan rahasia serangan kaum Muslimin ke Mekkah. Ancaman hukuman terhadap kasus semacam ini juga sangat berat, dimana Umar Ibnul Khattab bahkan hendak memenggal kepalanya. Tetapi Hathib bin Abi Balta’ah tertolong karena niat yang ada dalam hatinya bukanlah untuk mengkhianati Nabi SAW dan kaum Muslimin, melainkan hanya ingin mendapatkan perlindungan dan kasih sayang sebagaimana diungkapkan Al Qur’an. Selain itu ia juga tertolong karena reputasi baiknya di masa lalu, termasuk keikutsertaannya dalam perang Badr. Dengan ini Islam mengajarkan kepada kita supaya jangan sekali-kali menjadikan musuh sebagai teman setia dan juga jangan melupakan kebajikan orang yang pada suatu ketika berbuat kesalahan.
Inilah Kemengan Besar Kaum Muslimin
Sekembalinya Abu Sufyan dari Madinah, penduduk Mekkah dicekam perasaan cemas dan gelisah. Saat itu, ‘Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) berfikir hendak memeluk Islam bersama seluruh keluarganya dan hendak meninggalkan Mekkah berhijrah ke Madinah. Dalam perjalanan ke Madinah, Abbas dan anggota-anggota keluarganya berpapasan dengan Rasulullah yang bersama pasukan Muslimin sedang bergerak menuju Mekkah. Selain Abbas dan keluarganya, berangkat pula Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib (bukan Abu Sufyan bin Harb) dan Abdullah bin Abi Umayyah. Dua-duanya berpapasan dengan Rasulullah SAW di Abwa. Dua orang itu dahulu yang paling keras memusuhi Beliau SAW sewaktu masih berada di Mekkah. Mengingat perbuatan mereka yang sangat jahat di masa lampau, Beliau SAW memalingkan muka tidak sudi melihat mereka.
Ali bin Abi Thalib menyarankan kepada Abu Sufyan bin Al Harits supaya terus menghimbau Rasulullah. Kepadanya Ali berkata :“Datangilah beliau dari arah depannya dan katakan kepada beliau apa yang zaman dahulu pernah dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepadanya:”Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melimpahkan keutamaan kepada anda atas diri kami, dan kami adalah orang-orang yang telah berbuat salah (QS Yusuf : 91). Sebab beliau tidak akan rela mendengar jawaban lebih baik dari itu.” Abu Sufyan bin Al Harits lalu berbuat sesuai dengan saran Ali dan teryata Rasulullah menjawab :“Hari ini (sekarang) tiada bahaya mengancam kalian! Semoga Allah mengampuni kesalahan kalian, dan Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang!” (QS Yusuf : 92)
Alangkah gembiranya Abu Sufyan bin Al Harits mendengar ucapan Rasulullah SAW itu hingga dari mulutnya terlontar beberapa bait sya’ir yang menunjukkan kegembiraan hatinya atas hidayah yang telah diterimanya dari orang yang pernah diusirnya sendiri, dan berjanji akan berperang malawan kaum musyrikin membela agama Allah dan Rasul-Nya. Demikian sya’ir Abu Sufyan bin Al Harits :
‘Aku bersumpah, ketika aku membawa bendera perang musyrik
Pasukan berkuda Lata mengalahkan pasukan berkuda Muhammad
Aku seperti orang yang berjalan di malam hari yang gelap dalam keadaan bingung
Dan sekarang aku telah mendapatkan petunjuk dan diberi petunjuk
Aku diberi petunjuk oleh pemberi petunjuk selain diriku
Orang yang pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku
Dulu aku bersungguh-sungguh menghalang-halangi manusia dari Muhammad
Aku tetap dihormati kendati aku tidak bergabung dengan Muhammad
Bukan orang musyrik namanya bila tidak berkata dengan hawa nafsu
Kendati ia punya pikiran kotor dan berkata dusta
Aku ingin keridhaan mereka
Dan aku tidak dekat dengan kaum jika aku tidak diberi petunjuk di semua tempat
Katakan kepada Tsaqif, aku tidak ingin menyerang kalian
Dan katakan kepada Tsaqif, silakan ancam orang selain aku
Aku tidak ikut dalam pasukan yang menangkap Amir
Itu bukan ulah lisan dan tanganku
Kabilah-kabilah datang dari tempat jauh
Mereka datang dari Saham dan Surdad (nama tempat di wilayah 'Ikk)’.”
Sebagai tanggapan, Rasulullah SAW menepuk-nepuk punggung Abu Sufyan bin Al Harits seraya berkata : “Ya…engkaulah yang bersama kawan-kawanmu telah mengusirku!”
Sementara itu Abbas yang juga hendak mencari perlindungan dan masuk Islam melihat tiga tokoh musyrikin Quraisy keluar mencari berita dan ingin mencari tahu apa yang sedang direncanakan oleh pasukan yang datang dari Madinah. Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Hati-hatilah hai orang-orang Quraisy pagi ini. Demi Allah, jika Rasulullah memasuki Makkah dengan kekerasan dan sebelum itu mereka (orang-orang Quraisy) tidak datang meminta jaminan keamanan kepada beliau, maka itu adalah kehancuran mereka sepanjang zaman”.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, ‘Setelah itu, aku duduk di atas Baghal milik Rasulullah yang berwarna putih dan keluar dengan menaikinya. Ketika aku tiba di pohon 'Arak, aku berkata, ‘Mudah-mudahan aku dapat bertemu salah seorang pencari kayu bakar, atau penggembala unta, atau penggembala kambing, atau orang yang mempunyai keperluan pergi ke Makkah, yang bisa menjelaskan kepada mereka keberadaan Rasulullah, kemudian mereka datang kepada beliau untuk meminta jaminan keamanan kepada beliau sebelum beliau memasuki ke tempat mereka dengan kekerasan’.
Demi Allah, aku terus berjalan di atas baghal milik Rasulullah dan mencari salah satu dari orang yang aku cari. Tiba-tiba aku mendengar ucapan Abu Sofyan bin Harb dan Budail bin Warqa’ yang sedang tukar pendapat. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Aku tidak pernah melihat api dan markas tentara seperti pada malam ini’. Budail bin Warqa’ berkata, ‘Demi Allah, itu adalah kabilah Khuza’ah yang sedang menyalakan api’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Api kabilah Khuza’ah dan markasnya tidak sebesar itu’.
Aku mengenali suara Abu Sofyan bin Harb. Aku berkata, ‘Hai Abu Handzalah’. Abu Sofyan bin Harb juga mengenali suaraku, kemudian ia berkata, ‘Hai Abu Al-Fadhl’. Aku berkata, ‘Ya betul’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, apakah gerangan yang menimpamu?’ Aku berkata, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, inilah Rasulullah sedang bersama pengikutnya. Demi Allah, hati-hatilah orang-orang Quraisy pada pagi ini’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, bagaimana cara menghindar dari itu semua?’ ‘Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, beliau pasti memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah di belakang baghal ini, hingga aku membawamu ke tempat Rasulullah, kemudian engkau meminta jaminan keamanan untukmu kepada beliau’.
Abu Sofyan bin Harb pun naik di belakangku, sedang kedua temannya pulang ke Makkah. Aku membawa Abu Sofyan bin Harb dan setiap kali aku melewati api kaum Muslimin, mereka bertanya, ‘Siapa orang ini?’ Ketika mereka melihat Baghal milik Rasulullah dan aku berada di atasnya, mereka berkata, ‘Paman Rasulullah sedang mengendarai Baghal beliau’. Aku terus berjalan hingga melewati api Umar bin Khaththab. Ia berkata, ‘Siapa ini?’ Ia mendekatiku dan ketika ia melihat Abu Sofyan bin Harb, ia berkata, ‘Abu Sofyan musuh Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menaklukkanmu tanpa perjanjian sebelumnya.
Ketika Umar bin Khaththab berlari menuju tempat Rasulullah, sedang aku memacu Baghal hingga mendahului Umar bin Khaththab seperti halnya hewan pelan yang mendahului orang yang jalannya pelan. Aku turun dari baghal kemudian masuk ke tempat Rasulullah dan pada saat yang sama Umar bin Khaththab masuk ke tempat beliau. Umar bin Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah Abu Sofyan. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian sebelumnya. Oleh karena itu, izinkan aku memenggal lehernya’. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah melindungi Abu Sofyan bin Harb’. Setelah itu, aku duduk dekat Rasulullah dan memegang kepala beliau sambil berkata, ‘Demi Allah, pada malam ini tidak boleh ada orang lain selian diriku yang berbicara denganmu’. Ketika Umar bin Khaththab banyak bicara tentang Abu Sofyan bin Harb, aku berkata, ‘Tahan dirimu hai Umar. Demi Allah, seandainya Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, engkau tidak akan berkata seperti tadi. Engkau berkata seperti tadi, karena engkau tahu bahwa Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Abdu Manaf’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Tahan dirimu, hai Al-Abbas. Demi Allah, ke-Islamanmu ketika engkau masuk Islam itu lebih aku sukai daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam. Aku juga tahu kalau ke-Islamanmu itu lebih disukai Rasulullah daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam. Rasulullah bersabda, ‘Hai Al-Abbas, pergilah dengan Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatmu dan meng-hadaplah kepadaku esok hari’.”
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku membawa pergi Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatku dan ia menginap di tempatku. Esok paginya, aku membawa Abu Sofyan bin Harb ke tempat Rasulullah. Ketika beliau melihat Abu Sofyan bin Harb, beliau bersabda, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, apakah belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung hubungan kekerabatan. Demi Allah, sungguh aku telah meyakini seandainya ada Tuhan lain selain Allah, maka Tuhan tersebut pasti mencukupiku dengan sesuatu’. Rasulullah bersabda, ‘Celakalah engkau hai Abu Sofyan, apakah belum tiba bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung kekerabatan. Adapun hal ini, demi Allah, di hatiku masih terdapat ganjalan hingga sekarang ini’. Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata kepada Abu Sofyan bin Harb, ‘Celakalah engkau, hai Abu Sofyan, masuk Islamlah. Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sebelum engkau dipenggal lehermu’.
Abu Sofyan bin Harb pun bersaksi dengan syahadat yang benar dan masuk Islam. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Sofyan bin Harb adalah orang yang senang dengan kebanggaan, oleh karena itu, berikan sesuatu kepadanya’. Rasulullah bersabda, ‘Ya, barangsiapa memasuki rumah Abu Sofyan bin Harb, ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumah-nya, ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram, ia aman’.”
Rasulullah SAW memberi keistimewaan kepada Abu Sufyan dengan tujuan memuaskan perasaan Abu Sufyan bin Harb yang suka membanggakan diri. Dengan perlindungan ini, Rasulullah SAW juga berharap jangan sampai terjadi peperangan dan pembunuhan di Mekkah. Untuk itu beliau juga berpesan kepada Abbas agar Abu Sufyan ditahan di sebuah tempat dekat jalan yang akan dilalui pasukan Muslimin, agar dia melihat sendiri seluruh kekuatan kaum Muslimin yang memasuki Mekkah dan tidak berfikiran untuk melawan.
Mengenai peristiwa ini Abbas sendiri menceritakan sebagai berikut :
“Abu Sufyan kuajak pergi kemudian kutahan di sebuah tempat sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah SAW kepadaku. Tak berapa lama kemudian pasukan Muslimin bergerak lewat jalan itu kabilah demi kabilah dengan panjinya masing-masing. Setiap melihat kabilah lawat, Abu Sufyan bertanya : “Hai Abbas, siapakah mereka itu?” Kujawab : “Kabilah Sulaim.” Ia menyahut : “Ah, aku tidak mempunyai urusan dengan mereka!” Lalu lewat lagi barisan kabilah lain. Ia bertanya :”Hai Abbas, siapakah mereka itu?” Kujawab : “Kabilah Muzainah.” Ia menyahut : “Ah, aku tidak mempunyai urusan dengan mereka!” Begitulah seterusnya hingga semua pasukan kabilah lewat. Setiap meilhat pasukan kabilah lewat ia selalu menanyakannyya kepadaku dan tiap keberitahu, ia selalu mengatakan “Aku tidak punya urusan dengan Bani Fulan dan Bani Fulan.” Akhirnya lewatlah Rasulullah SAW di tengah-tengah pasukan yang seluruhnya memakai serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Ashar. Abu Sufyan sangat kagum melihat keanggunan dan kekuatan persenjataan mereka. Ia bertanya :“Subhanallah, hai Abbas, siapakah mereka itu?”…Kujawab : “Itulah Rasulullah SAW di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar…Ia berkata : “Tak ada orang dan kekuatan yang dapat menandingi mereka! Hai Abul Fadhl (nama panggilan Abbas), demi Allah, kemenakanmu kelak akan menjadi maha raja besar…Aku menjawab : “Hai Abu Sufyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian!” Ia menyahut : “Kalau begitu…alangkah mulianya!”
Abu Sufyan masuk kembali ke kota Mekkah dalam keadaan cemas dan gemetar ketakutan. Ia merasa seolah-olah di belakangnya terdapat roda penggilas yang jika terus menggelinding pasti akan menghancurkan segala yang ada di depannya. Semua penduduk Mekkah melihat pasukan Muslimin dari kejauhan, dan makin lama semakin mendekat. Mereka berkerumun di sekitar pemimpinnya masing-masing menunggu perintah untuk berperang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Abu Sufyan berteriak:
“Hai orang-orang Quraisy, Muhammad datang kepada kalian membawa pasukan yang tak mungkin dapat kalian tandingi! Karena itu, barangsiapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan ia selamat!”
Orang-orang Quraisy mencemoohkan teriakannya : “Celakalah engkau, hai Abu Sufyan! Apakah gunanya rumahmu bagi kami?!”
Abu Sufyan menyahut : “Barangsiapa menutup pintu rumahnya ia selamat! Dan barangsiapa masuk ke dalam Masjidul Haram ia selamat.!”
Orang-orang Quraisy kemudian berlarian berpencaran, sebagian pulang ke rumah masing-masing dan menutup pintu rapat-rapat ; sebagian lainnya berbondong-bondong masuk ke dalam Al Masjidul Haram.
Pada hari itu Mekkah diliputi suasana ketakutan yang mencekam. Semua penduduk dengan hati yang berdebar-debar berusaha menghindari suratan takdir yang akan menimpa mereka. Kaum lelaki banyak yang sembunyi di belakang pintu rumahnya yang tertutup rapat, dan banyak pula yang dengan muka suram masuk ke dalam Al Masjidul Haram menunggu apa yang akan terjadi.
Gambar : Masjidil Haram
Pasukan kaum Muslimin terus marangsek masuk membanjiri Mekkah. Rasulullah SAW berada di atas untanya, berserban hijau tua, dengan menundukkan kepada dan sikap khusyu kepada Allah SWT. Di atas punggung untanya beliau duduk dengan badan membongkok tanpak sangat merendahkan diri sehingga janggut beliau hampir menyentuh punggung untanya.
Iring-iringan pasukan tersebut terus bergerak mau menuju jantung kota suci Mekkah. Pemimpinnya yang rendah hati dan berbaju besi andaikan mau memberikan isyarat atau perintah serbu yang dinanti-nantikan oleh pasukannya, maka sanggpup membersihkan apa pun yang ada di Mekkah. Pada hari itu Beliau memasuki Mekkah sebagai pemenang, bukan lagi buronan. Kemuliaan besar yang dijanjikan Allah SWT ini membuat Beliau semakin bersyukur dan semakin khusyu membongkok dan menunduk di atas punggung untanya, beliau lalu berkata :
“Hari ini hari Ka’bah harus dihormati, hari ini orang-orang Quraisy dimuliakan Allah!
Kepada pasukannya Beliau SAW memerintahkan jangan menyerang kecuali diserang lebih dulu. Setelah itu masuklah semua regu dari semua penjuru Mekkah. Mekkah pun takluk tanpa perlawanan dan agama Allah SWT menguasai seluruh pelosok kota dan orang memasukinya berbondong-bondong. Rasulullah SAW menuju Baitullah, Ka’bah, dan lalu thawaf, lalu menghancurkan berhala-berhala dan patung-patung yang terdapat di sekitar Ka’bah.
“…Kebenaran tiba dan lenyaplah kebatilan! Sesungguhnyalah, bahwa kebatilan pasti lenyap.” (QS Al Isra : 81)
Baliau kemudian mengucapkan pujian ke hadirat Allah SWT dan berkata :
“Tiada Tuhan selain Allah, yang telah memenuhi janji-Nya, dan telah menolong hamba-NYA dan telah pula mengalahkan pasukan Ahzab! Hai orang-orang Quraisy, menurut pendapat kalian, tindakan apa yang hendak kuambil terhadap kalian?” Mereka menyahut serentak :“Tentu yang baik-baik!” Hai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia. Beliau lalu berkata ; “Kukatakan kepada kalian apa yang dahulu pernah dikatakan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya ; “Tak ada hukuman apa pun terhadap kalian. Pergilah kalian semua! Kalian semua bebas!”
Setelah orang-orang Quraisy bubar dan mendapatkan putusannya, Bilal naik ke atas Ka’bah mengumandangkan adzan. Kalimat-kalimat agung kemenangan tersebut membahana membelah angkasa di atas kota Mekkah menambah iman orang-orang yang beriman dan menyebarkan takut di hati setan-setan sehingga melarikan diri. Allahu Akbar…Allahu Akbar…!
Pada hari itu semua penduduk Mekkah memeluk Islam, walau pun ada sebagian dari mereka yang masih ragu. Peristiwa tersebut terjadi di bulan Ramadhan, dan Beliau SAW tinggal di Mekkah setelah itu selama sebulan. Lima belas hari beliau tidak berpuasa dan melakukan shalat Qashar. Futuh Makkah atau penaklukan kota Mekkah adalah kemenangan gemilang dan besar untuk kaum Muslimin. Semua ini hasil serbuan mendadak dan kecermatan kaum Muslimin dalam merahasiakan rencana serangan. Dan tentu saja, semua ini atas idzin-Nya yang merupakan kepastian alias sunatullahn-Nya bahwa pasukan Al Haq pasti akan mengalahkan pasukan Al Batil. Kapan dan dimana pun.
Wallahu’alam bis showab!
Selengkapnya...
Faedah Surat Al Mulk, Allah Menguji Manusia Siapakah Yang Baik Amalnya
Faedah Surat Al Mulk, Allah Menguji Manusia Siapakah yang Baik Amalnya
Posting kali ini adalah lanjutan dari faedah tafsir surat Al Mulk ayat pertama.
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Maut adalah Makhluk
Ibnu Katsir mengatakan bahwa dari ayat ini menunjukkan kalau maut itu adalah sesuatu yang ada dan ia adalah makhluk.[1] Maut adalah makhluk karena maut itu diciptakan.
Maut diciptakan dalam bentuk domba. Jika ia melewati sesuatu pasti akan mati. Sedangkan hayat (kehidupan) diciptakan dalam bentuk kuda. Jika ia melewati sesuatu pasti akan hidup. Inilah pendapat Maqotil dan Al Kalbiy.[2] Tugas kita hanyalah mengimani maut dan hayat, walaupun keduanya tidak nampak bagi kita (perkara ghoib). Seorang mukmin adalah seseorang yang beriman pada perkara yang ghoib.
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Orang yang bertaqwa adalah yang mengimani perkara ghoib.” (QS. Al Baqarah: 3)
Mati dan Hidup adalah Kehendak Allah
Ath Thobariy mengatakan bahwa Allah akan mematikan siapa saja dan apa saja. Begitu pula ia akan memberi kehidupan pada siapa saja dan apa saja hingga waktu yang ditentukan.[3]
Dunia Hanyalah Kehidupan Sementara Waktu
Dari ‘Atho’, dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Kematian akan ditemui di dunia. Sedangkan kehidupan hakiki adalah di akhirat.” Qotadah mengatakan, “Allah memang menentukan adanya kematian dan kehidupan di dunia. Namun Allah menjadikan dunia ini sebagai negeri kehidupan yang pasti akan binasa. Sedangkan Allah menjadikan negeri akhirat sebagai negeri balasan dan akan kekal abadi.”[4]
Kenapa Allah Menyebutkan Kematian Lebih Dahulu Baru Kehidupan?
Ada beberapa alasan yang disebutkan oleh para ulama:
Alasan pertama: Karena kematian itu akan kita temui di dunia. Sedangkan kehidupan yang hakiki adalah di akhirat. –Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas di atas-
Alasan kedua: Segala sesuatu diawali dengan tidak adanya kehidupan terlebih dahulu seperti nutfah, tanah dan semacamnya. Baru setelah itu diberi kehidupan.[5]
Alasan ketiga: Penyebutan kematian lebih dulu supaya mendorong orang untuk segera beramal.
Alasan keempat: Kematian itu masih berupa nuthfah (air mani), mudh-goh (sekerat daging) dan ‘alaqoh (segumpal darah), sedangkan kehidupan jika sudah tercipta wujud manusia dan ditiupkan ruh di dalamnya.[6]
“Supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”
Beberapa tafsiran mengenai “siapakah yang lebih baik amalnya”:
Pertama: siapakah yang paling baik amalannya di antara kita dan nanti masing-masing di antara kita akan dibalas.
Kedua: siapakah yang paling banyak mengingat kematian dan paling takut dengannya.
Ketiga: siapakah yang paling gesit dalam melakukan ketaatan dan paling waro’ (berhati-hati) dari perkara yang haram. [7]
Keempat: siapakah yang paling ikhlas dan paling benar amalannya. Amalan tidak akan diterima sampai seseorang itu ikhlas dan benar dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas adalah amalan tersebut dikerjakan hanya karena Allah. Yang dimaksud benar dalam beramal adalah selalu mengikuti petunjuk Nabi. Inilah pendapat Fudhail bin ‘Iyadh.
Kelima: siapakah yang lebih zuhud dan lebih menjauhi kesenangan dunia. Inilah pendapat Al Hasan Al Bashri.[8]
Syarat Diterimanya Ibadah Bukan Hanya Niat yang Ikhlas
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Al Fudhail bin ‘Iyadh lalu berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.”[9]
Oleh karena itu, syarat diterimanya ibadah itu ada dua:
1. Niat yang ikhlas
2. Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak. Semata-mata hanya ikhlas dalam beramal, namun tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak. Misalnya niatnya ikhlas membaca Al Qur’an, namun dikhususkan pada hari ketujuh kematian orang tuanya, maka amalan ini tertolak karena amalan seperti ini tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Tidak Menuntut Banyak Kuantitas Amalan, Namun Kualitasnya
Dalam ayat “supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”, di situ tidak dikatakan siapakah yang paling banyak amalannya. Namun dikatakan siapakah yang paling baik amalannya. Sehingga dituntut dalam beramal adalah kualitas (ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi), bukan kuantitasnya.[10]
Tidak Ada yang Dapat Menghalangi Kehendak Allah, Namun Dia Maha Pengampun
Dalam penutupan ayat kedua dari surat Al Mulk, Allah menyebut,
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Di dalamnya terkandung makna tarhib (ancaman) dan targhib (motivasi). Maksudnya, Allah melakukan segala sesuatu yang Dia inginkan dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Allah akan menyiksa hamba-Nya jika mereka durhaka (enggan taat) pada-Nya dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Namun Allah Maha Menerima Taubat jika hamba yang terjerumus dalam maksiat dan dosa bertaubat dengan kesungguhan pada-Nya.[11] Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu setinggi langit dan Dia pun akan menutup setiap ‘aib (kejelekan) walaupun ‘aib itu sepenuh dunia.[12]
Betapa indahnya, jika terus mendalami makna Kitabullah.
“Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.”[13]
Segala puji bagi Allah yang nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel (rumaysho) (Published www.suaramedia.com
Panggang, Gunung Kidul, Jum’at pagi, 19 Dzulqo’dah 1430 H.
________________________________________
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Tafsir Ibnu Katsir, 8/176, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[2] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7/262, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Jaami’ Al Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ath Thobariy, 23/505, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[4] Ma’alimut Tanzil, Al Baghowiy, 8/173, Darut Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H.
[5] Idem
[6] Fathul Qodir, 7/262
[7] Idem
[8] Ma’alimut Tanzil, 8/176
[9] Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 20, Darul Muayyad, cetakan pertama, 1424 H
[10] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/176.
[11] Tafsir Juz Tabaarok, Abu ‘Abdillah Musthofa bin Al ‘Adawiy, hal. 14-15, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
[12] Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 875, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[13] HR. Bukhari no. 5059, dari Abu Musa Al Asy’ari
Selengkapnya...
Duhai Seandainya Saya Melakukannya (Berjihad)
Duhai seandainya saya melakukannya (berjihad). Ucapan ini dilontarkan dengan penuh penyesalan oleh sahabat senior, Ka'b bin Malik r.a. ketika beliau tertinggal (tidak ikut) berjihad dalam Perang Tabuk. Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW., dan tidak ikut dalam perang tersebut merupakan dosa besar yang memalukan. Perkataan Ka'b ini (mungkin) juga diucapkan orang-orang yang hingga kini belum pergi berjihad padahal dia tahu hukumnya wajib. Lalu, masihkah ada waktu sebelum terlambat, sehingga kita tidak hanya mengatakan 'Duhai seandainya saya melakukannya (berjihad)?
Syarah Hadits Ka'b Bin Malik. r.a.
Mengapa hingga saat ini masih ada orang yang duduk-duduk saja tidak berangkat berjihad padahal hukumnya telah fardhu 'ain? Apa yang melatarbelakangi keengganan seseorang untuk berangkat berjihad membela agama Allah SWT ?
Syekh Usamah bin Ladin, dalam sebuah video yang dikeluarkan oleh As Sahab Media (diterjemahkan oleh Forum Jihad Al Tawbah), berjudul: "Muhadhoroh Hadits Ka'b bin Malik Pada Perang Tabuk", Peringatan Bagi Mereka Yang Duduk Tidak Berjihad (Qo'idun), menjelaskan bahwa beliau telah mempelajari siroh Rasulullah SAW, dan dalam hal ini maka kisah Ka'b bin Malik dalam peristiwa Perang Tabuk sebagaimana telah diriwayatkan haditsnya oleh Shahihain (Bukhari dan Muslim) serta yang lainnya sangat cocok untuk menjadi renungan umat di saat ini.
Dalam hadits yang panjang dan agung ini, sahabat Ka'b bin Malik, mengaku dan berterus terang tentang tabiat jiwa manusia dan lemahnya jiwa manusia. Untuk itu, mari kita mentadaburi kejujuran dan keterusterangan sahabat yang mulia ini sehingga kita bisa tahu bagaimana tabiat orang-orang yang duduk tidak berangkat berjihad.
Syekh Usamah melanjutkan dan berpesan agar kita berusaha mengobati jiwa kita, dan menasehati jiwa kita, saudara-saudara dan ulama kita dan kita berharap kepada Allah SWT agar sudi kiranya mengembalikan kita dengan pengembalian yang baik.
Video muhadhoroh Hadits Ka'b bin Malik dibuka dengan tayangan ayat Al Qur'an Surat At Taubah (9) ayat: 117 s/d 121 dengan latar belakang pegunungan Afghanistan. Kemudian langsung terlihat Syekh Usamah dengan tampilan khas beliau, bersurban, dengan latar belakang dinding bilik yang sangat sederhana. Dengan suara lembut, penuh perasaan beliau memulai muhadhoroh tentang syarah hadits Ka'b bin Malik berkenaan atau dalam peristiwa Perang Tabuk
Beliau membuka muhadhoroh dengan mengingatkan bahwa yang dibahas adalah tentang umat ini, terutama kondisinya yang parah karena berada di bawah kekuasaan orang-oang kafir yang menerapkan hukum-hukum selain hukum Allah SWT. Palestina telah 8 dekade dikuasai oleh nasrani dan kemudian yahudi.
Dan telah berlalu 10 tahun pendudukan salibis yang dipimpin Amerika. Mereka menduduki Masjidil Harom, negeri dua tanah suci (biladul haromain)
Dalam kondisi seperti ini ironisnya masih saja ada yang bingung dan belum tergerak hatinya untuk membela La ilaha ilallah. Bahkan ada yang berpendapat boleh saja mereka berdiam diri dan berpangku tangan dalam kondisi seperti ini.
Untuk itu, dalam kondisi yang demikian, umat perlu mencari kembali jalan yang terang dan jelas untuk bersikap, dan jalan itu tiada lain hanyalah dengan melihat bagaimana kehidupan para sahabat r.a.yang dengan itu kebenaran menjadi jelas daripada kebatilan.
Ka'b Bin Malik 'Tertinggal' Dalam Perang Tabuk ?
Ka'b bin Malik r.a bercerita tentang Perang Tabuk yang tidak diikutinya. Padahal ia adalah termasuk dari sahabat anshor yang pertama-tama masuk Islam. Ia termasuk yang hadir, menyaksikan dan berbai'at pada hari dilaksanakannya Bai'atul Aqabah. Bai'at agung yang menjadi pilar tegaknya daulah islam di Madinah.
Ia (Ka'b) menceritakan :
Saya tidak pernah absen dari setiap perang yang dipimpin Rasulullah SAW sama sekali, kecuali Perang Badar.
Ia termasuk yang menikmati perang dan mempersembahkan lehernya untuk membela La ilaha ilallah. Namun, manusia tetaplah manusia yang kadangkala digelincirkan syaitan, sekali waktu lemah dan tertipu oleh dirinya sendiri. Inilah yang diceritakan sahabat yang mulia ini.
Ia melanjutkan : Rasulullah SAW mengajak untuk berangkat perang pada saat hari panas menyengat.
Di saat orang-orang sedang 'qoilulah' (santai-santai) di bawah pohon-pohon korma mereka. Sementara itu, buah korma yang ada di pohon sudah mulai tampak matang.
Ia melanjutkan : waktu itu saya senang dengannya
Dalam artian ia menyenangi bernaung dan senang buah-buah korma tersebut. Inilah tabiat jiwa manusia, kita bisa membacanya pada orang-orang besar semacam mereka radillahu'anhum.
Syekh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Fiqhus Sirah menjelaskan mengenai terjadinya Perang Tabuk, dalam buku beliau yang berjudul "At Ta'ashshub wat Tasamuh Bainal Masihiyah wal Islam" sebagai berikut :
"...Dan gereja tidak tahan hidup jika di sampingnya terdapat pikiran lain yang tidak sesuai dengan cabang-cabang ajarannya yang sekecil-kecilnya..."
Romawi berpendirian harus dapat membendung Islam dan menghancurkan Islam di daerah utara Semenanjung Arabia dengan pukulan yang mematikan. Berita-berita mengenai persiapan Romawi yang hendak menyerang daerah Islam itu didengar oleh Rasulullah SAW di Madinah. Agama Nasrani, sejak menguasai Romawi, selalu mendukung niat agresif yang ada pada para pendetanya.
Tidak ada pilihan lain bagi Rasulullah SAW kecuali harus mengerahkan kekuatan kaum Muslimin untuk menangkal agresi yang mengancam keselamatan Islam. Ini perkara penting, perkara pembelaan terhadap La ilaha ilallah. Kita lihat, Islam sejak dulu (di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW) selalu peka akan agresi yang hendak dilakukan kaum kafir kepada mereka. Baru terdengar kabar Romawi akan menyerang, umat Islam sudah bersiap diri untuk menghadang. Bagaimana perbedaannya kondisi tersebut dengan saat ini, dimana kaum kafir sudah menyerang di mana-mana, namun umat masih absen dari berjihad.
Kita kembali kepada kisah Ka'b yang pada waktu itu pun absen dari Perang Tabuk. Jika mereka saja (Ka'b) ada yang absen dari jihad, maka tidak heran apabila ada orang pilihan pada hari ini yang juga absent.
Saya lebih senang dan cenderung kepada pohon-pohon korma tempat berteduh. Ia berkata :
Sementara orang-orang mulai bersiap-siap dan saya pun mulai bersiap-siap. Waktu berlalu, hari pertama berlalu, dan saya belum menyiapkan apa-apa. Saya berkata, saya akan mempersiapkan itu semua besok, namun lagi-lagi belum ada satupun yang saya siapkan. Saya berkata pada diri sendiri (Syekh Usamah mengomentari : perhatikanlah peryataan nafsunya disini) : Saya berkata pada diriku sendiri, saya kuasa untuk berangkat bersama mereka. (Syekh Usamah melanjutkan komentarnya, si jiwa menipu pemiliknya, padahal ia biasa berjihad) Ia melanjutkan : Ini masalah sederhana, saya bisa berangkat. Saya berkata pada diriku sendiri saya bisa berangkat dan mampu melakukannya. Saya masih dalam keadaan semula sampai waktu perang semakin dekat. Rombongan menakutkan itupun berangkat, suatu rombongan agung. Komandannya Muhammad SAW, diiringi Abu Bakar, Umar, dan para sahabat yang mulia. Para ahli siroh memperkirakan mereka 30 ribu sahabat radiallahu'anhum.
Tipu Daya Jiwa & Beratnya Perang Tabuk
Di sini seorang Muslim harus mengetahui tipu daya jiwa. Berapa banyak orang yang duduk, berapa banyak orang yang berpangku tangan dari membela La ilaha ilallah tertipu oleh jiwanya. Seandainya ia (yang tertipu jiwanya) mau pergi berjihad, maka pasti ia akan berangkat. Seandainya bapaknya, pemimpinnya, atau yang menunjuknya menginginkan dia berangkat, maka pasti ia akan berangkat. Namun untuk maslahat Islam ia malah tidak berangkat. Ini adalah sebuah ketertipuan yang nyata dan jelas.
La hawla wa laa quwwata illa billah.
Sahabat ini tertipu oleh jiwanya padahal ia telah berpengalaman dalam peperangan dan pertempuran. Kaum anshor adalah "Abnaaul Huruub" (terbiasa dengan perang dan bertempur). Mereka mewarisi kebiasaan itu dari orang tua-orang tua mereka. Namun, ia bisa tertipu oleh jiwanya (nafsu). Lalu bagaimana dengan orang yang belum pernah berangkat perang sama sekali ?
La hawla wa laa quwwata illa billah.
Akan sangat mudah bagi jiwa untuk menipu pemiliknya. Mereka hidup dalam kehidupan yang sulit, tidak ada listrik, tidak ada AC dan tidak ada apa-apa. Buah kurma yang kelihatan mau masak di pohon korma membuatnya lebih cenderung pada duniawi. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang longgar dalam hal-hal yang mubah sampai malah berlebihan. Mereka tenggelam dalam kemewahan, bicarakanlah dan engkau tidak berdosa.
La hawla wa laa quwwata illa billah.
Bagaimana bisa mereka tidak tertipu jiwanya kecuali orang-orang yang dikehedaki oleh Allah SWT selamat. Orang-orang telah berangkat, sementara Ka'b jatuh ke dalam dosa yang sangat besar dan memalukan. Duduk tidak ikut membela La ilaha ilallah. Duduk tidak ikut membela tauhid dan aqidah. Merasa berat karena kenikmatan kehidupan dunia yang pada waktu itu masih sangat sedikit.
Perang Tabuk memang sebuah perang yang sangat menguji keimanan seseorang. Udara waktu itu panas. Dalam beberapa atsar lain di Tabuk, Umar r.a. berkata :
Jika salah seorang dari kita keluar menuju kendaraannya lehernya terasa mau putus karena saking panasnya.
Masih menurut Syekh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Fiquh Siroh, persiapan untuk maksud tersebut (Perang Tabuk) bertepatan dengan musim paceklik dan kemarau panjang. Selain itu dibutuhkan kerja keras dan biaya yang besar sekali untuk menghadapi kekuatan kufur Romawi.
Romawi pada saat itu adalah sebuah kekuatan super power, sebuah kekuatan negara yang wilayahnya membentang di beberapa benua, negara yang memiliki sumber tenaga dan kekayaan luar biasa besarnya.
Pasukan kaum Muslimin sendiri dinamakan dengan Jaisul Usrah(Pasukan yang Menghadapi Kesukaran)
Firman-firman Allah SWT yang turun berkenaan dengan Perang Tabuk yang terjadi dalam suasana serba sulit, merupakan ayat-ayat terpanjang dibanding dengan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan peristiwa peperangan antara kaum Muslimin dan musuh-musuhnya.
Syekh Usamah bin Ladin melanjutkan penjelasannya dalam syarah hadits Ka'b. Lalu apa kata para pencinta dunia ? Apa kata mereka ?
"Mereka berkata : "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini. Katakanlah : "Api neraka jahannam itu lebih sangat (panas)nya, jika mereka mengetahui." (QS At Taubah (9) : 81)
Setelah itu, ketika ia (Ka'b) tertinggal rombongan perang. Ka'b berkata :
Saya ingin menyusul mereka namun itu tidak ditakdirkan untukku. Ia melanjutkan :
Duhai seandainya saya melakukannya
Syekh Usamah kemudian berpesan :
Wahai hamba Allah gunakan kesehatanmu. Manfaatkan waktu luang dan masa mudamu. Inilah medan-medan surga telah terbuka lebar. Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya pintu-pintu surga terletak di bawah naungan pedang."
Ketika Abu Musa Al Asy'ari r.a. mengatakan hadits ini, ada seseorang bertanya :
Wahai Abu Musa apakah engkau mendengar hadits ini dari Rasulullah SAW., ? lihatlah sahabat ini menanyakan kejelasan hadits ini untuk mengamalkannya, bukan hanya untuk memperbanyak ilmu. Ini karena ilmu membutuhkan amal. Ia ingin menyakinkan bahwa hadits ini adalah shahih.
Abu Musa menjawab : Ya. Ia pun berlalu menuju kaumnya, mengucapkan salam kepada mereka lalu mengambil sarung pedangnya kemudian ia patahkan, kemudian ia pergi berperang sampai terbunuh.
Inilah manhaj para sahabat yang mulia. Manhaj para pendahulu kita r.a.
Ka'b bin Malik kembali berkata :
Duhai seandainya saya melakukannya
Diriwayatkan bahwa ada seorang ulama sholeh sedang menghadapi sakaratul maut, sedang ia berada di atas tempat tidur kematiannya. Kedua matanya meneteskan air mata, sedang ia adalah termasuk orang yang bertaqwa dan berilmu. Ia ditanya : Apa yang membuatmu menangis ? Sambil melihat kedua telapak kakinya ia menjawab : Saya menangis karena kedua telapak kakiku belum pernah terkena debu di jalan Allah SWT.
Kalian tahu hadits shahih dari Rasulullah SAW :
"Kedua telapak kaki seorang hamba yang terkena debu di jalan Allah tidak akan disentuh api neraka."
Allahu Akbar!
Suatu ibadah, hanya dengan menyentuh debunya saja bisa bisa melindungimu dari api neraka. Bagaimana dengan orang yang keluar dengan jiwanya dan hartanya dan tidak kembali lagi dengan keduanya. Maka itu adalah sebaik-baiknya amalan.
Kembali kepada situasi sahabat Ka'b, yang akhirnya tertinggal rombongan perang mulia tersebut. Dia tidak menemui yang ada di Madinah kecuali orang-orang yang munafik dan orang-orang yang memang memiliki udzur untuk tidak turut berperang.
Ketika Rasulullah SAW., sampai di Tabuk, beliau bersabda : "Apa yang dilakukan Ka'b bin Malik ? Beliau ingat kepadanya. Seseorang dari Bani Salamah menjawab : "Ia disibukkan oleh kedua pakaiannya dan karena menuruti perasaannya."
Beliau membicarakannya karena ia berpangku tangan dari pembelaan dien dan menjadikan dirinya di tempat yang tidak selayaknya untuk orang beriman, yakni berpangku tangan tidak membela dien.
Mu'adz bin Jabal r.a. menanggapi (kementar tersebut) berkata : "Buruk sekali omonganmu. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak tahu tentangnya kecuali kebaikan."
Ibnu Hajar mengomentari perkataan seseorang dari Bani Salamah tersebut : "Apa yang telah saya katakan kepada kalian bahwa orang yang berpangku tangan dari jihad telah menjadikan pembenaran bagi orang-orang untuk mencela dirinya, karena membela dien adalah termasuk kewajiban yang paling agung.
Dalam Perang Tabuk ini, ada juga sahabat yang bernama Abu Khoitsamah, yang juga hampir tertinggal mengikuti perang sebagaimana Ka'b bin Malik. r.a. Ia tiba, setelah semua orang berjalan, dan dia menyusul sendirian, meninggalkan qoidun (orang-orang yang duduk di belakang tidak berjihad). Hampir saja syetan menyelewengkannya, padahal Beliau termasuk sahabat yang mulia.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan perkataan ulama ahli maghazi (peperangan) mengenai kisah Abu Khoitsamah. Abu Khoitsamah berkata :
"Saya masuk ke rumahku lalu saya melihat pondokan yang telah diciprati air. Padahal betapa bagusnya pondokan yang disirami air di musim panas. Saya melihat pondokan yang telah diciprati air dan saya melihat istriku. Terus aku berkata : 'Demi Allah ini tidak adil, Rasulullah SAW di bawah matahari terik dan kepanasan, sedangkan saya disini saya berteduh dan bersenang-senang. Ia pun mengambil tunggangannya dan sedikit kurma lalu berjalan hingga menyusul Rosul SAW.
Masya Allah, Allahu Akbar...!
Penyesalan, Kejujuran, Boikot, dan Tobat Ka'b bin Malik
Ka'b bin Malik melanjutkan kisahnya. Ketika Rasulullah SAW kembali dari Perang Tabuk, saya dilanda kesedihan yang mendalam dan kedukaan. Saya berkata : 'Dengan apa saya menemui Beliau?'
Kemudian saya mendatangi Beliau lalu Beliau tersenyum dengan senyum kemarahan. Beliau SAW., marah kepada Ka'b. Ka'b berkata : Beliau berpaling dariku. Ka'b lalu berkata : Aku tidak berlaku nifaq, aku tidak ragu-ragu, dan aku tidak mengganti agamaku, lalu apa yang membuatmu marah. Rasulullah SAW., kemudian menjawab :
"Apa yang membuatmu absen ?"
Sebuah pertanyaan dimana orang-orang juga akan ditanyakan demikian. Apa yang membuat absen dari membela La ilaha ilallah ?
Kemudian Ka'b mengaku dan berterus terang kepada Rasulullah SAW., dimana sikap Ka'b ini bisa menjadi ibroh bagi yang memiliki akal.
Saya berkata : Wahai Rosul, demi Allah, seandainya saya duduk di samping selain Anda dari para pencinta dunia, pasti aku akan keluar terbebas dari kemurkaannya dengan berbagai alasan.
Ka'b melengkapi : Sungguh saya diberikan kemampuan berdebat
Banyak orang sekarang yang memiliki kemampuan berdebat. Kemudian mereka palingkan kewajiban jihad yang saat ini hukumnya telah fardhu 'ain, dengan mengatakan bahwa sekarang belum waktunya. Lalu kapan waktunya ?
Ka'b melanjutkan : Sungguh saya diberikan kemampuan berdebat, namun demi Allah saya tahu, jika saya sekarang memberi tahu Anda dengan kebohongan yang membuat engkau ridho dengan alasanku, hampir-hampir Allah akan membuat engkau murka kepadaku.
Ka'b melanjutkan : jika aku menceritakan sejujurnya, engkau dapati aku di dalamnya. Dengan kejujuran itu aku berharap balasan dari Allah SWT. Ka'b mengatakan : Demi Allah saya tidak punya udzur.
Rasulullah SAW., bersabda :
"Sungguh orang ini telah berlaku jujur."
Padahal sebelumnya Ka'b berkata : "Saya teringat akan berdusta."
Syekh Usamah menjelaskan, jiwa itu punya celah-celah kelemahan yang banyak sekali, padahal syetan itu mengalir di pembuluh darah manusia. Kita berlindung kepada Allah SWT., darinya. Dan karena kejujurannya inilah Allah SWT., menyelamatkan Ka'b.
Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang, dimana standar timbangan manusia sudah terbalik. Mayoritas manusia duduk berpangku tangan dari jihad. Sedikit sekali yang mau mengambil pelajaran dan ingat.
Kemudian datang perintah untuk memboikot, mengucilkan Ka'b dan dua sahabat lain yang absen dari Perang Tabuk. Mengucilkan orang-orang yang duduk berpangku tangan dari membela La ilaha ilalllah.
Ka'b melanjutkan : "Maka bumi menjadi terasa asing bagiku. Seolah-olah ia bukan bumi yang sudah aku kenal dan jiwaku sendiri terasa asing. "
Syekh Usamah mengatakan : sebenarnya ketidakhadiran 3 orang sahabat diantara 30 ribu pasukan dalam Perang Tabuk tidak berpengaruh sama sekali kepada pasukan. Namun ini bukan masalah pengaruh atau tidak berpengaruh, karena urusan ini sudah sampai masuk ke dalam hati. Yakni mengapa tidak mau hadir dalam membela agama Allah SWT. Ini merupakan amanah yang ada di pundakmu dan kewajibanmu yang seharusnya kamu laksanakan.
Kembali kepada Ka'b. Setelah 40 hari, datang seorang utusan Rasulullah SAW., datang kepadanya. Ia berkata : "Rasulullah SAW memerintahkan kepadamu, Tinggalkan istrimu."
Ka'b berkata kepada istrinya : "Pulanglah ke keluargamu sampai Allah memutuskan urusan kita."
Dua teman Ka'b menangis selama 40 hari. Salah seorang sahabat yang bernama Hilal bahkan sudah terkategorikan tua dan lemah. Namun Rasulullah SAW tetap tidak memberikan dispensasi kepadanya, untuk absen dalam jihad, membela agama Allah SWT.
Lalu bagaimanakah dengan kondisi umat Islam saat ini ? yang tidak memiliki uzur ? yang tidak tua dan lemah, mereka masih kuat, sehat, dan berkecukupan. Lalu mengapa mereka masih juga absen dalam jihad
Ka'b berkata : Ketika saya sedang duduk, dalam keadaan yang sudah saya sebutkan, tiba-tiba ada suara yang sampai kepadaku dengan nada memberi kabar gembira. Ada seorang laki-laki setelah turun taubat atas Rasululllah SAW.
Seorang lelaki naik ke bukit Salwa berteriak dengan suaranya yang paling keras, memberi kabar gembira kepada Ka'b.
Ka'b berkata : "Maka saya tersungkur sujud. Sambil menangis karena gembiranya taubatnya diterima Allah SWT."
Ka'b berkata : Wahai Rasulullah, sebagai bagian dari tobatku saya akan melepas semua hartaku. Rasulullah SAW menjawab agar dia hanya melepaskan 1/3 hartanya saja.
Ibroh Kisah Ka'b Bin Malik
Kini, kita tidak diminta untuk melepas seluruh harta kita, padahal ia milik Allah SWT. Lalu mengapa kita belum juga pergi berjihad, apa lagi yang menipumu ? Padahal telah sampai kepadamu hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan ibadah jihad. Kisah Ka'b dan kejujurannya ini adalah ibroh atau teladan bagi ummat saat ini agar memeriksa jiwanya dan mengatasinya, serta mengembalikannya pada kebenaran.
Kini, hendaklah kaum Muslimin melihat di manakah posisinya sekarang, dan siapkah dia dengan sebuah pertanyaan.
"Apa yang membuatmu absen berjihad?"
Bagaimana bisa seseorang yang mengaku mencintai Rasulullah SAW, mengaku mengikuti manhajnya, namun belum pernah berjihad di jalan Allah SWT., sekalipun?
Di jaman ini, di saat hukum jihad fardhu 'ain, bagaimana bisa kita mengambil fatwa atau fiqh jihad dari orang yang hanya duduk-duduk saja dan tidak pernah berjihad ?
Fiqih jihad, sebagaimana dikatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau adalah seorang 'Alim Robbani Mujahid, yang berangkat bersama jiwanya untuk memerangi Tartar. Ia berkata :
'Dalam masalah-masalah wajib yang berhubungan dengan jihad, (maksudnya fatwa dalam masalah jihad) seharusnya diambil dari ulama yang benar-benar ulama. Yaitu yang mengerti realitas dunia (yang diantaranya adalah masalah jihad) bukan berdasarkan pandangan orang yang memandang dengan dien secara lahir dan juga bukan berdasarkan ulama yang tidak punya ilmu tentang realitas keadaan dunia.
Syekh Usamah memberikan contoh, saat ini banyak orang berargumen bahwa kita tidak mampu untuk menghadapi AS dan bala tentaranya. Kemudian berfatwa tidak atau belum wajib untuk berjihad. Padahal sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya bahwa syarat orang berfatwa adalah dua hal yakni pertama faham fakta dan yang kedua faham nash untuk dikaitkan dengan fakta.
Perhatikanlah ayat-ayat berikut :
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata " Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami ?" Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?" Katakanlah : "Kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun." (QS An Nisaa' (4) : 77)
Lalu Allah menjawab secara tegas dalam ayat berikutnya :
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan : "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan :" Ini (datangnya) dari sisi Kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (dating) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?" (QS An Nisaa' (4) : 78)
Syekh Usamah menutup kajiannya dengan mengutip syair dari sahabat Ja'far, r.a. dan syair tentang Baitul Maqdis dan Ka'bah Musyarofah.
Duhai indah dan dekatnya surga, enak dan sejuk minumannya
Romawi telah mendekati siksaannya
Jika aku menemuinya saya harus menghantamnya..........
Penduduk Palestina merasakan gelas-gelas kesedihan
Sedangkan luka di Hijaz tidaklah kecil bagimu
Bukanlah putera-putera Islam itu kecuali orang-orang yang mulia
Dengan lukamu, musibah itu memaksa untuk menganggapnya kecil
Akan tetapi mereka...Akan tetapi meskipun terluka, keyakinan mereka
(tetap) besar (optimis) dengan kembalinya khilafah yang mulia
Sungguh mereka telah bersumpah...sungguh merka telah bersumpah dengan (nama) Allah bahwa jihad mereka akan tetap jalan meskipun Kisra (Persia) dan Qoyshar (Romawi) bersatu
Maka dalam kondisi saat ini, apakah layak dan patut kaum Muslimin berpangku tangan duduk-duduk saja meninggalkan jihad ?
Wallahu'alam bis showab!
Selengkapnya...
Dahsyatnya Fitnah Akhir Zaman
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
Ishaq bin Manshur menuturkan kepada saya. Dia berkata; Abu Dawud at-Thoyalisi mengabarkan kepada saya. Dia berkata; Ibrahim bin Sa’d menuturkan kepada kami dari ayahnya, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi fitnah/gempuran cobaan, orang yang tidur di saat itu lebih baik daripada orang yang terjaga. Orang yang terjaga lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berlari. Maka barangsiapa yang mendapatkan tempat kembali atau untuk berlindung hendaknya dia segera mencari perlindungan dengannya.” (Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dalam Shahihnya di Kitab al-Fitan, bab maa takuunu fitnatul qa’id fiha khairun minal qaa’im [hadits no. 7081], diterjemahkan dari Shahih Muslim cet Darul Kutub Ilmiyah, hal. 1105).
Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan di dalam Shahihnya :
Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami dari Malik bin Anas di dalam riwayat yang dibacakan di hadapannya dari Abu Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali sampai pada suatu ketika seorang lelaki melewati kuburan seseorang maka dia pun berkata, ‘Aduhai alangkah enaknya kalau aku sekarang berada di tempatnya.’.” (Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya di Kitab al-Fitan, bab laa taquumus sa’ah hatta yughbatha ahlul qubur [hadits no. 7115], diterjemahkan dari Shahih Muslim cet Darul Kutub Ilmiyah, hal. 1114).
Kedua hadits di atas memberikan banyak pelajaran berharga, di antaranya :
1. Dalam situasi fitnah maka seorang mukmin memerlukan ketegaran iman dan kesabaran ekstra
2. Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya
3. Ketika fitnah berkecamuk maka orang yang selamat darinya adalah yang berusaha sekuat tenaga untuk tidak ikut campur karena hal itu justru semakin memperkeruh suasana
4. Diperintahkannya kita untuk menghindari tempat-tempat timbulnya fitnah
5. Yang menjadi ukuran adalah benar dan tidaknya tindakan yang diambil, bukan berapa banyak tindakan atau kegiatan yang dilakukan
6. Kewajiban mengimani hari kiamat dan tanda-tandanya
7. Demikian parahnya kondisi fitnah yang terjadi menjelang kiamat
8. Bolehnya mengangankan kematian bagi orang yang menjumpai fitnah dalam hal agama yang membuatnya khawatir akan keselamatan dirinya
9. Kewajiban bersabar ketika menghadap fitnah yang ada
10. Kewajiban untuk membekali diri dengan ilmu dalam mengatasi fitnah-fitnah tersebut
11. Kewajiban mengimani adanya alam kubur
12. Seorang yang beriman akan merasakan kebahagiaan di kuburnya
13. Hendaknya banyak-banyak mengingat kematian
14. Hendaknya setiap orang berintrospeksi diri dan mengukur kemampuan dirinya dalam menghadapi fitnah yang ada
15. Dan faidah lainnya yang belum saya ketahui, wallahu a’lam.
sumber : abu0mushlih.wordpress.com
Selengkapnya...