Utsman bin Affan ra, adalah seorang yang bertakwa, selalu bersikap wara'. Tengah malam tak pernah ia sia-siakan. la memanfaatkan waktu itu untuk mengaji Al-Quran dan setiap tahun ia menunaikan ibadah haji. Bila sedang berzikir dari matanya mengalir air mata haru. la selalu bersegera dalam segala amal kebajikan dan kepentingan umat. la juga dermawan dan penuh belas kasih. la telah melaksanakan hijrah sebanyak dua kali, pertama ke Habasyah, dan yang kedua ke Madinah. Laknat dan kutukan Allah bagi siapa saja yang membenci Utsman ra.
Pada akhir tahun 34 hijriyah, pemerintahan Islam. dilanda fitnah. Yang menjadi sasaran fitnah adalah Utsman ra sampai mengakibatkan beliau terbunuh pada tahun berikutnya.
Fitnah yang keji datang dari Mesir berupa tuduhan-tuduhan palsu yang dibawa oleh orang-orang yang datang hendak umrah pada bulan Rajab.Ali bin Abi Thalib ra mati-matian membela Utsman dan menyangkal tuduhan mereka. Ali menanyakan keluhan dan tuduhan mereka, yang.segera di jawab oleh mereka, "Utsman telah membakar mushaf-mushaf, shalat tidak diqasar sewaktu di Mekkah, mengkhususkan sumber air untuk kepentingan dirinya sendiri dan mengangkat pejabat dari kalangan generasi muda. la juga mengutamakan segala fasilitas untuk Bani Umayyah (golongannya) melebihi orang lain."
Pada hari Jum'at, Utsman berkhutbah dan mengangkat tangannya seraya berkata, "Ya Allah, aku beristighfar dan bertaubat kepadamu. Aku bertaubat atas perbuatanku."
Ali ra menjawab, "Mushaf-mushaf yang dibakar ialah yang mengandung perselisihan dan yang ada sekarang ini adalah yang disepakati bersama kesahannya. Adapun salat yang tidak di qasar sewaktu di Mekkah, adalah karena dia berkeluarga di Mekkah dan dia berniat tinggal di sana. Oleh karena itu salatnya tidak diqasar. Adapun sumber air yang dikhususkan itu adalah untuk ternak sodakoh sampai mereka besar, bukan untuk ternak unta dan domba miliknya sendiri. Umar juga pernah melakukan ini sebelumnya. Adapun mengangkat pejabat dari generasi muda, hal ini dilakukan semata-mata karena mereka mempunyai kemampuan di bidang-bidang tersebut. Rasulullah juga pernah melakukan ini hal yang demikian. Adapun dia mengutamakan kaumnya, Bani Umayyah, karena Rasulullah sendiri menda-hulukan qurasy dari pada bani lainnya. Demi Allah kalau kunci surga di tanganku, aku akan memasukkan Bani Umayyah ke surga."
Setelah mendengar penjelasan Ali ra umat Islam pulang dengan rasa puas. Tapi para peniup fitnah terus melancarkan fitnahan-fitnahan dan merencanakan makar jahatnya. Di antara mereka ada yang menyebarkan tulisan dengan tanda tangan palsu dari pada sababat termuka yang menjelek-jelekkan Utsman. Mereka juga menuntut agar Utsman dibunuh.
Fitnah kejipun terus menjalar dengan kejamnya, sebagian besar umat termakan fitnahan-fitnahan tersebut hingga teriadinya pembunuhan atas dirinya, setelah sebelumnya terkepung selama satu bulan di rumahnya. Peristiwa inilah yang disebut dengan "Al Fitnah al Kubra" yang pertama, hingga merobek persatuan umat Islam
Selengkapnya...
Selasa, 14 Juni 2011
Utsman Bin Affan - Kebaikannya Tidak Menghindarkannya Dari Fitnah
Utsman bin Mazh’un
Tatkala cahaya agama Islam mulai bersinar dari kalbu Rasulullah saw dan dari ucapan-ucapan yang disampaikannya di beberapa majelis, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, Utsman bin Mazh’un adalah salah seorang dari beberapa gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan menggabungkan diri ke dalam kelompok pengikut Rasulullah saw. Ia adalah di antara sahabat Nabi saw yang masuk Islam pada urutan keempat belas.
Dalam kehidupannya, ia pun tidak luput dari ancaman kaum biadab golongan kuffar Qurasy yang tidak menyukai kedatangan dan keberadaan agama baru, Islam. Ia ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagaimana dialami oleh orang-orang Mukmin lainnya, pengikut setia pembawa risalah baru yang lurus, Rasulullah saw.
Ketika keselamatan golongan kecil dari orang-orang beriman dan teraniaya ini menjadi pilihan utama Rasulullah saw, dengan jalan menyuruhnya berhijrah ke Habsyi, maka dipilihlah seorang yang juga membawa puteranya bernama Saib, Utsman bin Mazh’un, memimpin rombongan pertama dari Muhajirin ini.
Dalam perantauannya, Utsman bin Mazh’un tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat mereka termasuk saudara sepupunya, Umayah bin Khalaf. Dihiburlah dirinya dengan menggubah sya’ir yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudaranya itu, katanya:
“Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya
Kamu runcing ia setajam-tajamnya
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakan ornag-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata”
Suatu ketika tersiarlah kabar bahwa orang-orang Qurasy telah beriman dan menganut agama yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dengan hati riang dan gembira, bangkitlah orang-orang Muhajirin mengemasi barang-barangnya untuk kembali ke Mekah. Mereka sungguh telah merindukan kampung halamannya.
Akan tetapi, baru saja mereka sampai di dekat kota, ternyata berita tentang masuknya kaum Quraisy telah beriman hanyalah berita bohong belaka. Mereka benar-benar merasa terpukul dengan kejadian dan tipuan ini. Betapa tidak, untuk pergi lagi perjalanan mereka sudah terlanjur sampai dekat kota Mekah. Sementara itu, orang-orang musyrik di kota Mekah telah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka kejar-kejar. Perangkap-perangkap pun mereka siapkan. Takdir telah menentukannya, datanglah barisan kaum Muslimin ke tampat itu.
Untungnya, nasib baik masih menyertai Utsman bin Mazh’un sebagai pemimpin rombongan kala itu. Perlindungan ketika itu merupakan suatu tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan sangat dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tidak boleh ditumpahkan. Hanya sebagian kecil yang dapat masuk memperoleh perlindungan itu. Termasuk di antaranya adalah Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin Mughirah. Ia pun selamat hingga masuk ke kota Mekah.
Di tengah keberadaan kaum Muslimin di Mekah yang dilanda kecemasan dan ketakutan karena perlakuan orang-orang musyrik, Utsman bin Mazh’un, seorang yang telah ditempa Al-Qur’an dan didikan langsung dari Rasulullah saw, merasa prihatin dan dalam dirinya timbul perasaan berontak menyikapi keadaan itu. Utsman bin Mazh’un keluar dari rumah perlindungannya dengan tekad dan niat yang bulat.
Mari kita dengarkan cerita dari saksi mata yang melukiskan kejadian peristiwa itu!
“Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para sahabat Rasulullah saw, sementara ia sendiri pulang pergi dengan aman dan tenteram disebabkan perlindungan Walid bin Mughirah, katanya, ‘Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku dalam keadaan aman disebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedang teman-teman sejawat dan kawan-kawan seagama menderita adzab dan siksa yang tidak kualami, merupakan suatu kerugian besar bagiku ….’
“Lalu ia pergi mendapatkan Walid bin Mughirah, katanya, ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan Anda, dan sekarang ini saya melepaskan diri dari perlindungan Anda.’ ‘Mengapa, wahai keponakanku?’ ujar Walid. ‘Mungkin ada salah seorang anak buahku yang mengganggumu?’ ‘Tidak,’ ujar Utsman bin Mazh’un. ‘Hanya, saya ingin berlindung kepada Allah, dan tidak suka lagi kepada lain-Nya. Karenanya, pergilah Anda ke masjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti Anda dahulu mengumumkan perlindungan terhadap diriku!”
“Lalu, pergilah mereka berdua ke masjid, maka kata Walid, ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya.’ Ulas Utsman, ‘Betullah kiranya apa yang dikatakan itu …, ternyata ia seorang yang memegang teguh janjinya …, hanya keinginan saya agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta’ala.”
Setelah itu, Utsman bin Mazh’un pun berlalulah, sementara di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah syair dan melagukannya di hadapan mereka, hingga Utsman bin Mazh’un menjadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka. Kata Lubaid:
“Ingatlah bahwa apa juga yang terdapat di bawah kolong ini selain dari Allah adalah hampa.” “Benar, ucapan Anda itu,” kata Utsman bin Mazh’un menanggapinya. Kata Lubaid lagi, “Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna.” “Itu dusta!” kata Utsman, “Karena kesenangan surga takkan lenyap.” Kata Lubaid:
“Hai orang-orang Qurasy! Demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagaimana sikap kalian kalau ini terjadi?” Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita, jadi tidak usah digubris, apa ucapannya!”
Utsman bin Mazh’un membalas ucapannya itu hingga di antara mereka terjadi pertengkaran. Dengan perasaan marah, orang itu tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu meninjunya hingga tepat mengenai matanya, sementara Walid bin Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi. Maka katanya kepada Utsman, “Wahai keponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka sungguh, benteng perlindunganmu amat tangguh!” Ujar Utsman, “Tidak, bahkan mataku yang sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah. Dan sungguh wahai Abu Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu.” “Ayuhlah Utsman,” kata Walid pula, “Jika kamu ingin, kembalilah masuk ke dalam perlindunganku!” “Terima kasih,” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu. Ibnu Mazh’un kemudian meninggalkan tempat itu; Utsman pun pergi. Di tengah perjalanan menuju rumahnya, dengan hati gembira, ia mendendangkan pantun:
“Andaikata dalam mencintai ridla Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridhai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
Daku ‘kan tetap dalam agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan agama yang haq
walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena.”
Utsman bin Mazh’un telah memperlihatkan kepada kita suatu teladan yang menunjukan pribadi utama yang harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa.
Setelah tidak mendapatkan perlindungan dari Walid, Utsman bin Mazh’un mulai mendapat siksaan dari orang-orang Quraisy. Akan tetapi, karena ketabahan dan kekuatan jiwanya, penderitaannya dirasakan dengan ikhlas dan bahagia.
Suatu ketika Utsman bin Mazh’un hijrah pula ke Madinah, hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya. Ia berangkat ke Madinah bersama rombongan sahabat-sahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitan dan kesukarannya.
Di Madinah, tempat hijrahnya yang baru itu, Utsman bin Mazh’un sangat tekun dan rajin beribadah: malam harinya bagai rahib dengan ibadah shalat dan dzikirnya; siang harinya bagai pahlawan dengan berjuang membela kebenaran. Dengan ketabahan dalam zuhud dan ketekunan dalam ibadahnya, ia mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihnya menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya. Rupanya ia telah memperoleh dan merasakan kemanisan beribdah kepada Allah SWT.
Dengan berpakaian usang yang telah sobek-sobek; yang ditambalnya dengan kulit unta, suatu hari ia masuk masjid, sementara Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Rasulullah saw kemudian bertanya kepada para sahabatnya:
“Bagaimana pendapat Kalian, bila Kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti dengan stelan lainnya … kemudian disiapkan di depan kalian suatu perangkat wadah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah diangkat … serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana Ka’bah bertutup ….?”
“Kami ingin hal itu dapat terjadi, wahai Rasulullah,” ujar mereka, “… hingga kita dapat mengalami hidup makmur dan bahagia!” Maka sabda Rasulullah saw,“Sesungguhnya hal itu telah terjadi, kemudian Kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan Kalian waktu lalu.”
Meskipun Utsman bin Mazh’un ikut mendengarkan percakapan itu, ia tidak terpengaruh dengan jawaban para sahabat yang mengharapkan berbagai kecukupan. Ia tetap menjalani hidup dengan bersahaja dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia, sampai-sampai kepada urusan menggauli isterinya hendak menahan diri. Rasulullah pun memanggil dan menyampaikan kepadanya,“Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu.”
Utsman bin Mazh’un amat dicintai oleh Rasulullah saw. Tatkala ruhnya yang suci itu berkemas-kemas hendak berangkat menuju tempat tujuannya, Rasulullah berada di sisinya. Beliau saw membungkuk dan mencium keningnya, seraya membasahi kedua pipinya dengan derai air mata. Wajah Utsman bin Mazh’un tampak bersinar gilang-gemilang saat kematiannya. Ia seorang Muhajirin yang kali pertama wafat di Madinah; juga yang pertama kali dimakamkan di Baqi’.
Bersabdalah Rasulullah saw melepas sahabatnya yang tercinta itu:
“Semoga Allah memberimu rahmat, wahai Abu Saib….
Kamu pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun yang kamu peroleh daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang dideritanya daripadamu.”
Sepeninggal sahabatnya itu, Rasulullah tidak melupakannya. Ketika melepas puterinya, Rukayah; ketika nyawanya hendak melayang, Beliau pun berkata:
“Pergilah susul pendahulu kita yang pilihan, Utsman bin Mazh’un!”
Sumber: Diadaptasi dari Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, Khalid Muh. Khalid
Selengkapnya...
Mush’ab bin Umair, Duta Islam Yang Pertama (II, Tamat)
Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah beriman dan baiat kepada Rasulullah di bukti Aqabah. Disamping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tempatan atau kota hijrah, pusat dari dai dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam
Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Pada musim haji berikutnya dari perjanjian Aqabah, kaum muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka , oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.
Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah saw. atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka.
Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah -kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Allah, menyampaikan kalimatullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.
Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiga-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu diantaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan. Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad saw. – yang diserukan beribadah kepada-Nya – oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.
Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.
Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan Sa’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”
Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar, terpancarlah ketulusan hati ”Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”
Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nurani sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengarkan dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyrakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.
“Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mengajarkan dakwah yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah saw, maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaidpun berseru kepadanya dan kepada sahabatnya, ”Alangkah indah dan benarnya ucapan itu! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab, ”Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”.
Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.
Secepatnya berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. dan setelah mendengarkan uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula.
Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya bertanya sesama mereka, “Jika Usain bin Hudlair, Saad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”
—oo—
Demikian duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.
Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisypun beroleh pelajaran pahit yang menghabisakan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun berisap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggilah “Mush’ab yang baik”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.
Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, merek meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan kaum muslimin beralih menjadi kekalahan.
Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit, atau tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membatasi Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuhpun menunjukkan serangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.
Mush’ab bi Umair menyadari suasana gawat ini, Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah saw. dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara.
Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mushab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang yang menginjak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.
Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceritakan saat-saat terakhir kapahlawanan besar Mush’ab bin Umar.
Berkata Ibnu Sa’ad, “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya, ia berkata :
“Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seseorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangan-nya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuhpun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraih ke dada sambil mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itupun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh”.
Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera. ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan. Disaat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.
Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Quran yang selalu dibaca orang.
—oo—
Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia. Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu. Atau mungkin juga ia merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.
Wahai Mush’ab cukuplah bagimu Ar-Raman.
Namamu harum semerbak dalam kehidupan.
—oo—
Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai ditempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuran dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul ‘Urrat:
“Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah saw dengan mengharap keridlaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Diantara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikitpun juga. Diantaranya ialah Mush’ab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelaipun kain untuk menutupinya selain burdah. Andainya ditaruh diatas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah saw, “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir!
Betapapun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi. Dan betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para sahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya. Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubungi dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat :
Diantara orang-orang Mu’min terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah.
(Q.S. 33. Al-Ahzab : 23)
Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda :
Ketika di Mekah dulu, tak seorangpun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masi, hanya dibalut sehelai burdah.
Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak diatanya, Rasulullah berseru :
Sungguh Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada disisi Allah
Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, sabdanya,
Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam ! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslimpun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.
Salam atasmu wahai Mush’ab…….
Salam atasmu sekalian, wahai para syuhada….
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
T.A.M.A.T
Selengkapnya...
Mush’ab bin Umair, Duta Islam Yang Pertama (I)
Mush’ab bin Umair salah seorang di antara para shahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya. Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.
Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat “Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum”.
Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorangpun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Mush’ab bin Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan ?
Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush’ab bin Umair atau “Mush’ab yang baik”, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi -pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad SAW.
Tetapi corak pribadi manakah?
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad al-Amin, Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka sebagai da’i yang mengajak umat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.
Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah SAW serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.
Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja di dorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul dengan para shahabatnya, temapt mengajarnya ayat-ayat al-quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang maha Akbar.
Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.
Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas – berlipat ganda dari ukuran usianya – dan mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah.
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush’ab, seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat. Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti.
Ketika Mush’ab menganut Islam, tiada satu kekuatanpun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri, bahkan kalau seluruh penduduk Mekah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush’ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya bagi Mush’ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah. Demikian ia senantiasa bolak – balik ke rumah Arqam menghadiri majlis Rasulullah, sedan hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.
Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Maka kaum Quraisy berkeliaran di mana – mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak.
Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad saw. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat al-Quran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisi dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketaqwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut puteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai – demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan – menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan.
Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakan sangat rapat.
Demikian beberapa lama Mush’ab tinggallah dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi melindungi diri. Ia tinggal disana bersama saudara-saudaranya kaum Muhajirin, lau pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.
Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush’ab di tiap saat dan tempat kian meningkat. Ia telah selesai dan berhasil menimpa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad SAW. Ia merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengorbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal – tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda :
“Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.
Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Iapun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baiknya kecuali melepaskan dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.
Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran pihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari pihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata : “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”. Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: “Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”.
Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut : “Demi bintang! sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi”.
Demikian Mush’ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.
Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan aqidah suci dan cemerlang berkat sentuhan Nur Illahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati penuh wibawa dan disegani.
Selengkapnya...
Cerita Sedih Bilal Bin Rabah
Suara Emas dari Ethiopia
Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang
sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu
dengan Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian
Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum
aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut
berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana.
Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat
lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di
hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh
penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa
Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja
Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya
bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh
kenangan dengan nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal
mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup
lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah
ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang
dikumandangkan Bilal.
Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan
bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal
mengumandangkan adzan.
Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh
berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata.
"Marhaban ya
Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan
adzan setelah Rasulullah wafat.
Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah,
Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan.
Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna
Muhammadarrasulullah."
Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti
suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk
adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.
Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan demi
kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau
dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar.
"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal.
"Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah,"
lanjut Bilal.
"Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.
***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang
sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang
keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan
Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar,
begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah,
Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun
hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat
mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang
dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya.
Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya,
Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang
membebaskannya dengan sejumlah Wang tebusan.
Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang
pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika
berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah Rasulullah.
Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya,
Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar
dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu
adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela.
Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak
berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walin-ya, itu lebih
cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang
majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya
menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir
berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan.
Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya
yang mengeluarkan darah.
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak
di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan
kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin
mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului
berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga.
Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal
menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku
langsung berwudhu
dan shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan.
Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski
demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci
ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati
kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya,
Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin
Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan
Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal
untuk
mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas
menara dan bergemalah suaranya.
Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di
antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin
Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak
kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
"Ya Allah, selamatkanlah umat Islam yg sedang sengsara di Lubnan,
Palestin, Afghanistan, Iraq, Chechnya serta diseluruh pelosok dunia akibat dari
angkara mungkar dan kekejaman musuh-musuh Mu. Peliharakanlah mereka,
lindungilah mereka, kasihanilah mereka dan berikanlah rahmatMu ke atas mereka.
Amin, ya Rabbal A'lamin."
Selengkapnya...
Abdullah bin Amru bin Haram
..Wahai Tuhan! Mohon sampaikan (nikmat yang engaku berikan)kepada orang-orang setelahku
Nama lengkapnya Abdullah bin Amru bin Haram al-Anshory. Biasa dipanggil Abu Jabir. Mengenai tahun kelahirannay tidak diketahui secara pasti.
Manusia tidak tahu kapan datangnya hidaya Allah dan bagaimana datangnya. Hanya saja hati manusia berada dalam genggaman tangan Allah yang mampu membalik hati siapa yang dikehendaki. Bageti juga dengan sejarah keislaman beliau. dulunya beliau adalah penyembah berhala. Ka’ab bin Malik bercerita, “Suatu hari kami keluar untuk berhaji dan kami berjanji kepada Rasulullah untuk melakukan sumpah setia (Bai’ah) di sela-sela hari tasyrik. Setelah selesai haji dan malam yang kita janjikan, kami membawa Abdullah bin Amru bin Haram, orang yang paling terpandang diantara kami. Kami pun merahasiakan tentang indentitas beliau dari orang-orang musyrik Quraisy agar tidak diketahui. Kami pun berbincang-bincang. Akhirnya kami bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Jabir, kamu adalah tuan yang kami hormati dan orang terpandang dari kami. Kami merasa takut sekiranya besok kamu menjadi api neraka.” Kemudian kami mengajak beliau untuk mempelajari Islam. setelah itu kami bagitahu dia bahwa kami punya janji dengan Rasulullah untuk berjumpa di Aqobah. Tak lama kami pun berjumpa dengan Rasulullah. Akhirnya beliau dengan hati yang ikhlas menyatakan diri masuk Islam. Beliaupun ikut memberikan sumpah setia…”(lihat Ibn Hisyam).
Pada waktu kaum Anshor yang berjumlah 70 orang melakukan sumpah setia (bai’ah) kepada Rasulullah yang kedua, beliau ikut dalam sumpah setia itu. Bahkan Rasulullah memberikan kepercayaan untuk menjadi salah satu pemimpin orang-orang yang melakukan sumpah setia. Yaitu mewakili dari kabilah bani Salamah. Setelah kembali ke Madinah, seluruh jiwa dan hartanya diserahkan untuk perjuangan Islam.
Diantara peperangan yang diiukuti adalah perang Badr dan Uhud. Pada waktu perang Uhud Jabi bin Abdullah bercerita; “Suatu malam ayahku memanggilku pada waktu hendak di mulai perang Uhud. Ayahku berkata “rasanya sayalah yang akan terbunuh diantara para sahabat dalam perang ini. semoga saja saya orang pertama yang mati syahid. Demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih saya cintai setelah Rasulullah melainkan dirimu. Saya mempunyai hutang. Maka kelak kalau saya wafat bayarlah hutangku dan berilah nasehat kepada saudaramu yang lain.”
Esok harinya umat Islam keluar rumah untuk menghadapi kaum kafir Quraisy. Mereka datang dengan tentara yang tidak sedikit. Terjadilah peperangan yang sangat hebat. Awalnya dimenangkan oleh umat Islam. Sekiranya para pemanah patuh kepada perintah Rasulullah agar tetap berjaga di tempatnya dan tidak keluar dari tempatnya, niscaya kemenangan bagi umat Islam hingga akhir peperangan. Saat pasukan pemanah tidak patah dengan perintah Rasulullah, maka pasukan kafir Quraisy mengempur habis-habisan sehingga umat Islam dapat dikalahkan. Diantara pahlawan umat Islam yang gugur dalam perang itu adalah Abdullah bin Amru bin Haram.
Selesai perang, umat Islam mengumpulkan pasukannya yang wafat. Jabir pun ikut mencari dimana ayahnya. Setelah itu Jabir menjumpai mayat ayahnya yang tidak bernyawa. Jabir dan beberapa keluarganya menanggisi kematian ayahnya. Tiba-tiba Rasulullah datang sambil berkata; “Tanggisi atau tidak kalian tanggisi..Malaikat akan memberikan pelindungan dengan sayapnya..”
Dari Jabir bin Abdullah diceritakan bahwa setelah ayahnya wafat Rasulullah berkata padanya, “Wahai Jabir, bukankah sudah saya bagitahu apa yang difirmankan Allah kepada ayahmu?” “Betul.” “Allah tidak bicara kepada seseorang melainkan di balik tabir. Dan Allah bicara dengan ayahmu secara langsung (tidak di balik tabir). Allah berfirman; “Wahai hambaku berharaplah kepadaku niscaya saya penuhi.” Ayah Jabir berkata; “Wahai Allah, hidupkan kembali aku kedunia supaya dapat berperang lagi. Allah berfirman; “Mereka yang sudah meninggal tidak akan dihidupkan kembali.” Ayah Jabir berkata; “Wahai Tuhan! Mohon sampaikan (nikmat yang engaku berikan)kepada orang-orang setelahku.” Setelah itu turunlah firman Allah dalam surah Ali-Imron ayat 169; “Janganlah kalian mengira bahwa mereka yang mati syahid itu mati tapi sebenarnya mereka masih hidup di sisi Allah mereka diberi riski…”
Semua pejuang muslim yang mati syahid di perang Uhud di kuburkan langsung di tempat itu. Waktu itu Jabir hendak membawa mayat ayahnya ke Madinah, hanya saja Rasulullah perintahkan untuk dikubur di tempatnya. Rasulullah bersabda, “Tutupilah mayat mereka dengan pakian yang menempel saja. Saya menjadi saksi atas kematiannya.”(Ibn Sa’ad :3/2/105)
Giliran mayat Abdullah bin Amru bin Harram untuk dikubur Rasulullah berkata, “Kuburkan Abdullah bin Amru dan Amru bin al-Jumuh dalam satu liang kubur. Sebab keduanya pada waktu hidupnya sahabat yang saling mencinta.”
Selengkapnya...