Selasa, 14 Juni 2011

Cerita Sedih Bilal Bin Rabah

Suara Emas dari Ethiopia

Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang
sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu
dengan Rasulullah.

"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian
Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.

"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum
aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut
berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana.
Ia dirundung rindu.

Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat
lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di
hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh
penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa
Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja
Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya
bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh
kenangan dengan nabi tercinta.

Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal
mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup
lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah
ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang
dikumandangkan Bilal.

Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan
bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal
mengumandangkan adzan.

Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh
berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata.
"Marhaban ya
Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.

Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan
adzan setelah Rasulullah wafat.

Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah,
Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan.
Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna
Muhammadarrasulullah."

Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti
suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk
adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.

Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan demi
kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau
dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."

"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar.

"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal.

"Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah,"
lanjut Bilal.

"Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.

***

Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang
sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang
keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan
Ethiopia.

Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar,
begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah,
Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun
hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat
mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.

Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang
dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya.
Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.

Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya,
Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang
membebaskannya dengan sejumlah Wang tebusan.

Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang
pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika
berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah Rasulullah.
Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya,
Shuhaib, Bilal dan Miqdad.

Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar
dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu
adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela.
Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak
berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walin-ya, itu lebih
cukup dari segalanya.

Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang
majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya
menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir
berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan.
Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya
yang mengeluarkan darah.

Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak
di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan
kedudukan yang mulai di sisi-Nya.

Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin
mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului
berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.

"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga.
Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."

Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal
menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku
langsung berwudhu
dan shalat sunnah dua rakaat."

"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan.
Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski
demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci
ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati
kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya,
Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.

Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin
Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan
Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal
untuk
mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas
menara dan bergemalah suaranya.

Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di
antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin
Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak
kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.

"Ya Allah, selamatkanlah umat Islam yg sedang sengsara di Lubnan,
Palestin, Afghanistan, Iraq, Chechnya serta diseluruh pelosok dunia akibat dari
angkara mungkar dan kekejaman musuh-musuh Mu. Peliharakanlah mereka,
lindungilah mereka, kasihanilah mereka dan berikanlah rahmatMu ke atas mereka.


Amin, ya Rabbal A'lamin."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar